Oleh: Abdul Ghopur
Jujur, saya bingung untuk memulai diksi atau pengantar dalam artikel saya kali ini. Yang ada dalam pikiran saya saat ini hanyalah kumpulan dan serangkaian pertanyaan tentang bagaimana rakyat Indonesia memahami dan memaknai Pancasila berserta isi dan penerapannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sehari-hari? Sepanjang berdirinya Republik Indonesia, tema tentang Pancasila selalu tak habis-habisnya kita bicarakan dan menjadi wacana (discourse) di mana-mana di hampir segenap penjuru dan level masyarakat. Dan, rasanya kita sebagai bangsa tak pernah absen pula memperingati hari-hari lahirnya ideologi bangsa, yakni Pancasila. Jika 1 Juni kita peringati Pancasila sebagai hari kelahirannya, 1 Oktober ini Pancasila kita peringati sebagai hari “kesaktiannya.” Dan, tahun ini merupakan ke 58 kalinya kita memperingati Hari Kesaktian Pancasila jika merunut atau berdasarkan pada Keputusan Presiden (Keppres) nomor 153 tahun 1967, 27 September 1967.
Seperti kita ketahui (sebagaimana pernah saya ulas dalam tulisan saya tiga tahun silam), sejarah Hari Kesaktian Pancasila bermula dari peristiwa penculikan dan pembunuhan enam (6) Jenderal Angkatan Darat (AD) dan satu perwira tinggi serta beberapa orang lainnya. Peristiwa ini dianggap sebagai upaya kudeta dan usaha mengubah Pancasila dengan unsur ideologi lain. Namun demikian, usaha ini gagal. Akan tetapi peristiwa berdarah ini telah menyisakan begitu banyak luka bersayat dan pilu pada para keluarga korban dan bangsa ini. Juga termasuk orang-orang dan keturunan pelaku peristiwa tersebut yang sama sekali tidak tahu-menahu yang dituduh atau dikait-kaitkan atas peristiwa itu. Sebab, selama puluhan tahun stigmatisasi terhadap jutaan orang yang dianggap PKI atau dianggap berafiliasi dengan PKI dibunuh dan dideskriditkan serta didiskriminasi, kendati mereka tidak mengetahui sama sekali apalagi terlibat dalam operasi Gerakan 30 September 1965. Peristiwa berdarah ini yang kita kenal sebagai G30S atau G30S/PKI.
Ada yang menarik dari penamaan peristiwa ini, pada masa Orde Baru (ORBA) atau Orde Soeharto berkuasa, untuk penamaan tragedi berdarah itu, Soeharto menyebutnya sebagai Gerakan 30 September/PKI atau G30S/PKI (baca: Partai Komunis Indonesia). Istilah G30S/PKI ditetapkan oleh Soeharto melalui Keputusan Presiden Nomor 153 Tahun 1967. G30S atau G30S/PKI merupakan operasi penculikan yang disertai pembunuhan para perwira tinggi AD yang terjadi pada 1 Oktober 1965 dini hari. Nah, kalau terjadinya pada 1 Oktober, mengapa namanya Gerakan 30 September? Di sisi lain, apa juga arti Gestapu dan Gestok?
Operasi G30S konon diinisiasi oleh Resimen Tjakrabirawa (satuan tentara pengamanan presiden) yang menerima informasi bahwa ada sekelompok jenderal yang disebut Dewan Jenderal yang ingin meng-kudeta Presiden Soekarno. Sebagaimana ulasan KOMPAS.com yang terbit tanggal 30 September 2021, disebutkan bahwa Resimen Tjakrabirawa bersama beberapa petinggi PKI berencana menghadapkan para jenderal itu ke hadapan Presiden Soekarno. Rencana yang semula sederhana ini malah berubah menjadi malapetaka berdarah. Para perwira tinggi AD itu diculik dan dibunuh.

Masih menurut ulasan KOMPAS.com, operasi yang terjadi pada 1 Oktober dini hari itu oleh Komandan Batalyon I Resimen Tjakrabirawa Letkol (Inf) Untung Samsoeri, bersaksi bahwa operasi tersebut awalnya diberi nama Takari. Namun, nama operasi ini diganti menjadi G30S karena nama Takari dianggap terlalu berbau militer. Pertanyaannya sekali lagi, kenapa operasi yang terjadi pada 1 Oktober dini hari kok dinamai G30S? Jawabannya, karena operasi tersebut dipersiapkan pada 30 September sore hari, dan dilangsungkan pada 1 Oktober dini hari (konon, untuk persiapan yang lebih matang).
Di sisi lain, Brigjen RH Sugandhi (pada waktu itu menjabat Kepala Penerangan Staf Angkatan Bersenjata dan juga pimpinan harian Angkatan Bersenjata) menamai operasi tersebut dengan istilah Gestapu (singkatan dari Gerakan September Tiga Puluh). Brigjen RH Sugandhi terinpirasi dari polisi rahasia bentukan Nazi Jerman yang bernama Gestapo (singkatan dari Geheime Staatspolizei). Polisi rahasia yang melakukan pembantaian massal orang-orang Yahudi di Eropa saat perang dunia (PD) ke II. Jadi, Gestapu itu plesetan dari Gestapo. Sedangkan Gestok adalah singkatan dari Gerakan Satu Oktober. Istilah ini lebih dipilih oleh Presiden Soekarno karena alasan terjadinya operasi itu pada 1 Oktober dini hari. Hal ini diusulkan secara langsung oleh Presiden Soekarno pada 9 Oktober 1965 di sidang kabinet pertama setelah peristiwa G30S. Penggunaan istilah Gestok juga untuk mengganti istilah Gestapu yang identik dengan Nazi Jerman.
Syahdan, ketiga istilah peristiwa kelabu itu “dimungkinkan” (dalam tanda kutip) mempunyai makna dan narasi politiknya masing-masing. Tak banyak dari kita yang benar-benar mengetahui makna tersembunyi yang terkandung di baliknya, bahkan para peneliti dan orang-orang yang hidup se-zaman dengan peristiwa kelam itu. Namun, yang ingin saya bahas bukanlah terkait peristiwa tersebut, melainkan pemaknaan “kesaktian” Pancasila. Menukil kamus besar bahasa Indonesia (KBBI), kata “sakti” artinya mampu (kuasa) berbuat sesuatu yang melampaui kodrat alam, mempunyai kesaktian; bertuah dan keramat.
Sehingga secara sederhana, dapat dimaknai kesaktian Pancasila adalah merupakan suatu sikap, jiwa dan pandangan yang menegaskan, hanya Pancasila sajalah yang mampu menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa, karena memiliki potensi yang sangat kokoh sebagai pemersatu rakyat Indonesia yang bhinneka atau majemuk. Sebab, Pancasila adalah nilai-nilai yang sangat luhur dan inklusif. Dus, semua itu sangat bergantung pada kesepakatan dan kemauan segenap individu dan komponen bangsa untuk menghayati serta mengamalkan nilai-nilai adiluhung yang terkandung dalam Pancasila secara konsisten dan konsekuen, dalam pelbagai aspek dan lini kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sayangnya, pasca runtuhnya ORBA muncul fobia terhadap Pancasila. Dasar negara itu seolah ikut tumbang dan sirna tanpa bekas. Membincangkan Pancasila menjadi sesuatu yang menjemukan dan “memuakkan,” karena hampir selalu identik dengan rezim ORBA. Agaknya ada semacam trauma mendasar terhadap perlakuan eksesif akan Pancasila. Mengapa demikian? Sebab, Dasar negara itu berubah menjadi ideologi tunggal dan satu-satunya sumber nilai serta kebenaran. Pancasila dijadikan ideologi yang komprehensif yang mengatur pelbagai lini kehidupan masyarakat. Negara (ORBA) menjadi maha tau apa yang baik dan apa yang buruk buat masyarakat. Nilai-nilai itu selalu disematkan di benak masyarakat melalui indoktrinasi, yaitu melalui penerapan P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Yaitu ”pemasyarakatan Pancasila” demi menjaga dan menjalankan Pancasila secara murni dan konskuen. Semua warga negara diajar untuk memahami, mengahayati, dan mengamalkan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Tidak ada yang salah sama-sekali dengan itu (nothing wrong at all) sebenarnya. Yang salah adalah, di sisi lain, prilaku penguasa ORBA pada waktu itu menunjukkan arah yang tidak seirama. Bahkan sebaliknya bertentangan dengan nilai dan semangat yang terkandung di dalam Pancasila melalui P4-nya itu.
Atas perlakuan semacam itu, Pancasila mau tidak mau senantiasa berbenturan dengan nilai-nilai/norma maupun ideologi yang hidup di tengah masyarakat seperti adat-istiadat, aliran kepercayaan, bahkan agama. Parahnya, benturan tersebut tidak hanya terjadi di levelan ide, bahkan melebar menjadi gesekan sosial politik yang tak jarang berujung pada pertumpahan darah. Trauma itu sampai sekarang belum lenyap. Ketika reformasi bergulir, diskursus ideologi merosot cukup dalam. Masalah itu seolah tidak relevan untuk dibicarakan. Masalahnya boleh jadi karena kita ”capek” dengan ideologisasi Pancasila semasa ORBA yang praktis dimonopoli negara. Pancasila hanya menjadi hafalan rutin setiap Senin pagi di sekolah-sekolah, kantor-kantor pegawai negeri, dan lain lain. Pancasila menjadi hanya sebatas bukan komunisme dan kapitalisme atau diingatkan akan bahaya ekstrim kanan maupun kiri, dan sebagainya.
Pertanyaannya, seberapa sakti atau kokoh Pancasila bila diperhadapkan dengan ideologi-ideologi dunia yang terus berkembang? Sejauh mana ketahanan atau pun ketangguhan Pancasila sebagai ideologi yang dianggap terlalu (dalam tanda kutip) ”absurd”? Dari sinilah perdebatan mengenai Pancasila seakan menjadi sia-sia. Dus, kekuatan kapitalisme-neoliberalisme-neoimperialisme dan neokolonialisme (rasanya) tidak mungkin dilawan, apalagi oleh negara sedang berkembang seperti Indonesia yang sedang dilanda krisis multidimensional yang sangat berat. Disebut negara berkembang, ukurannya sederhana saja, antara lain: ekonomi nasional morat-marit, kemiskinan dan pengangguran serta kriminalitas merajalela, pendidikan dan kesehatan merosot, bencana alam dimana-mana, sedang korupsi makin menggila, demokrasi kita juga masih ”belepotan” dan carut-marut, ditambah perilaku moral hazard para pejabat negara.
Namun demikian, diskursus tentang Pancasila tidak bisa diabaikan begitu saja. Ketika bangsa ini tertatih-tatih dalam proses demokratisasi, konflik dan kekerasan yang muncul sewaktu-waktu, belum pulih benar dari pandemi global, restorasi Indonesia dari krisis yang tak kunjung menemui titik cerah, sulit (limbo) merumuskan masa depan, dan segudang masalah lainnya, kita kemudian menengok kembali pentingnya sebuah ideologi yang kokoh serta ”akomodatif.” Yang menjadi pertanyaannya kemudian, ideologi seperti apa dan bagaimana?
Di sinilah kita bersama mencoba menjawab secara komprehensif seluruh persoalan di atas. Kita ingin menjelaskan betapa pentingnya Pancasila menjadi ”kompas” dan ideologi yang ”akomodatif” dalam perjalanan berbangsa dan bernegara yang kian mengalami dekadensi moral dan distorsi. Kita ingin menjelaskan begitu pentingnya Pancasila dihadirkan kembali dalam ruang publik yang sarat kontaminasi oleh kepentingan kelompok, nilai, maupun idelogi-ideologi privat. Selama ini domain sistem nilai atau pun ideologi yang bersifat privat seperti agama, adat-istiadat maupun paham ideologi asing yang hidup di tengah masyarakat kini telah salah ”tempat.” Nilai serta norma atau pun ideologi privat itu telah memasuki ruang publik. Misalnya, pelaksanaan Perda Syariah di kota Tangerang dan tuntutan Perda Injil di Papua beberapa dekade silam. Nilai atau norma agama tersebut merupakan nilai yang dipercayai dan dimiliki oleh komunitas-komunitas tertentu dalam sebuah entitas yang bernama Indonesia. Nilai itu belum tentu dipercayai dan dimiliki oleh komunitas lain yang memiliki kepercayaan lain, yang menjadi bagian integral dari entitas bangsa Indonesia.
Dalam hal ini mari kita menggugah khalayak bahwa Pancasila masih sangat membutuhkan penyegaran pemahaman dan pemaknaan. Alasannya cukup jelas, perjalanan bangsa selama era awal Reformasi 1998 sampai kini kerap mengalami disorientasi ketika dihadapkan dengan berbagai pilihan dan persoalan. Para pengambil kebijakan lebih memilih pertimbangan pragmatis jangka pendek ketimbang bersusah-payah mematangkan visi bangsa yang telah dimiliki. Selain itu, harus disadari pula bahwa pertarungan ideologi dunia masih belum berakhir. Paling tidak, faktor itu ikut memengaruhi pola pikir kita dalam merekonstruksi masa depan pembangunan bangsa. Misalnya, bagaimana proyeksi pembangunan ekonomi Indonesia ke depan. Coba perhatikan perdebatan sengit oleh sejumlah akademisi mengenai amandemen pasal 33 UUD 1945 beberapa dasa warsa silam. Perdebatan yang tidak menghasilkan kesimpulan konklusif ini akhirnya menyisakan dua kutub gagasan: mereka yang pro-ekonomi pasar dan mereka yang mendukung gagasan ekonomi kerakyatan. Sayangnya, perdebatan tersebut tidak banyak bergaung dan menjadi perhatian serius publik. Perhatian sebagian besar publik dari berbagai kalangan lebih banyak tertumpah misalnya, pada isu pemilihan presiden beserta ambang batasnya atau pun perdebatan hubungan antara negara dan agama.
Alih-alih, memperdebatkan isu yang esensial dan utama seperti landasan pokok penting berbangsa dan bernegara seperti masalah ekonomi kerakyatan berdasarkan Pancasila, malah bangsa ini disibukkan dengan isu seputar misalnya: anak-anak kita yang keracunan makanan dari program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang sembrono, ijazah palsu mantan presiden juga wapres fufufafa yang tak kredibel dan kompatibel, para anggota DPR selebritis yang cuma bisa jogat-joget di atas penderitaan rakyat, gaya hidup mewah dan hedonis para pejabat dan keluarganya, kasus korupsi kuota haji, pembatasan pengisian BBM bagi kendaraan yang belum bayar pajak, ribut soal patok batas tanah swasta di laut Indonesia, masa berlaku tanah masyarakat yang hendak dirampas negara seenak jidatnya, tarif pajak yang sangat mencekik leher masyarakat bawah, serta sederet perdebatan remeh-temeh lainnya yang mencerminkan sikap mediokrasi para penyelenggara negara.
Lantas pertanyaan kemudian, bagaimana menyegarkan pemahaman kita terhadap Pancasila? Bagaimana sudut pandang masyarakat banyak memaknai ”kesaktian” dan esensi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-harinya di saat bersamaan menyaksikan perilaku dan praktik berbangsa-bernegara para pejabat negara dan penyelenggara publik yang selalu menyimpang bahkan bertentangan dengan nilai-nilai dasar Pancasila? Di sinilah kita bersama wajib memberikan sketsa gagasan bagaimana seharusnya norma-norma Pancasila serta konstitusi negara diterjemahkan. Bagaimana meletakkan Pancasila pada kedudukan sejatinya dalam sikap dan laku kita semua terutama sekali pemerintah.
Bercermin pada sejarah awal saat dirumuskannya, ideologi bangsa itu harus dipahami sebagai konsensus dasar atau kontrak sosial (gentlemen agreement) antara berbagai komunitas untuk mengikat diri menjadi satu bangsa, Indonesia. Pancasila menjadi pandangan dunia (weltanschauung), dasar filosofis atau landasan pemikiran dan fondasi jiwa serta hasrat yang mendalam (Philosophische grondslag), serta norma dasar (Grundnorm) dan norma hukum tertinggi (Staatsfundamentalnorm) kita bersama dalam membangun cita-cita negara bangsa Indonesia merdeka.
Oleh sebab itu, penegasan bahwa sebagai ideologi yang ”absurd,” Pancasila membutuhkan kerangka kerja yang lebih lengkap untuk mengoperasionalisasikannya dalam kehidupan nyata. Pancasila harus menjadi pedoman dan referensi utama praksis berbangsa dan bernegara, yang harus bisa membaca berbagai perubahan fenomenal yang dialami bangsa. Pancasila harus melakukan reverifikasi atas peran monolitiknya, sebagai instrumen persuasif bangsa. Dengan cara itu kita dapat mengontekstualisasikan Pancasila sesuai semangat zaman. Jika tidak demikian, Pancasila akan hanya menjadi ideologi buta huruf (illiterate-ideolgy), atau sekadar retorika buta (blind-rhetoric).
Kita jangan mengulangi praktik yang telah terjadi di era-era sebelum reformasi, di masa Orde Baru dan Orde Lama, menjadikan atau memperlakukan Pancasila seperti ”azimat” yang tidak boleh diganggu-gugat. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, kemurnian Pancasila dijaga dengan senjata sambil mengharamkan semua paham maupun tafsir di luar versi negara. Pancasila diperlakukan secara monopolistik sebagai ideologi yang komprehensif dan satu-satunya kebenaran. Pancasila pun dijadikan alat legitimasi kekuasaan. Bahkan warga negara yang berusaha memberi tafsir berbeda akan dicap anti-Pancasila. Pancasila menjadi sesuatu yang amat ditakuti. Akhirnya, kini ketika rezim berganti, Pancasila menjadi sangat kehilangan ruh serta elan vitalnya. Pancasila sebagai paradigma operasional mengalami devitalisasi karena tidak berhasil meneguhkan perannya sebagai perekat operasional (practical-glue) yang nyata.
Oleh karenanya, usaha kita bersama meyakinkan akan pentingnya bahkan semakin pentingnya esensi nilai-nilai Pancasila dewasa ini menjadi sesuatu yang tak terelakkan sama sekali. Itulah pula pentingnya memahami secara komprehensif Pancasila dari awal dirumuskannya hingga perjalanannya melalui Demokrasi Terpimpin-nya Bung Karno, Orde Baru-nya Soeharto, sampai dengan era Reformasi saat ini. Tugas generasi hari ini dan mendatang adalah berusaha keras menjelasjabarkan pengertian Pancasila serta upaya mengembalikan ”citra” dan ”kesaktian” Pancasila dan berusaha membuktikan pentingnya Pancasila bagi kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini maupun di masa yang akan datang. Ketidak-arifan dalam memaknai dan meletakkan Pancasila dalam kadar proporsinya hanya akan membuat Pancasila menjadi kehilangan arti. Jika ini yang terjadi, maka kita akan kesulitan memberikan penyegaran pemahaman dan pemaknaan serta pengarusutamaan esensi kesaktian nilai-nilai Pancasila!
Referensi:
Asvi Warman Adam. 2009. Membongkar Manipulasi Sejarah: Kontroversi Pelaku Dan Peristiwa. Jakarta: Sinar Grafika. (seperti dikutip KOMPAS.com).
Staf Angkatan Bersendjata. 1965. 40 Hari Kegagalan ”G.30.S”. Jakarta: Pusat Sedjarah Angkatan Bersendjata. (sebagaimana dikutip KOMPAS.com).
Departemen Pendidikan Nasional. 2011. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
As’ad Said Ali. 2009. Negara Pancasila: Jalan Kemaslahatan Berbangsa. Jakarta: LP3ES.
Penulis adalah Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis Bangsa,
Inisiator Kedai Ide Pancasila; Pendiri Indonesia Young Leaders Forum.
Tinggalkan Balasan