Ancang-ancang KPK untuk kembali mentersangkakan mantan Wamenkumham, Eddy Hiariej, harus betul-betul memenuhi minimum alat bukti serta due prosess of yang baik dan benar. Pasalnya, penerbitan ulang sprindik baru juga tetap memberi ruang bagi Eddy mengajukan praperadilan lagi.
Setelah sebelumnya kalah telak di praperadilan, maka KPK harus memulai ulang dengan melakukan perbaikan yang benar-benar firm sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku. Sebab bilalah KPK kalah untuk yang kedua kalinya dalam praperadilan tentu hal ini akan mengesankan KPK unprofesional, bahkan memaksakan seseorang untuk jadi tersangka.
KPK dan semua APH harus fear dan betul-betul gentleman dan menghormati praperadilan yang telah diatur dalam konstitusi. Karena pada dasarnya praperadilan adalah ruang yang diberikan konstitusi untuk menegaskan kepastian hukum. Maka seharusnya praperadilan bukan sekedar hak, tapi juga kewajiban APH memberikan kepastian hukum.
Meski demikian, KPK bisa saja bersiasat dengan dengan menghindari pengajuan praperadilan sebagaimana dimungkinkan dalam KUHAP. Di dalam pasal 82 ayat 1 poin D menyebutkan; “dalam hal suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh pengadilan negeri sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan kepada praperadilan belum selesai, maka permintaan tersebut gugur”. Artinya dengan melakukan pelimpahan berkas perkara lebih dahulu ke pengadilan Tipikor, sebelum putusan praperadilan diputuskan, maka proses praperadilan itu dianggap gugur.

Namun, tentu siasat ini menunjukkan KPK tidak ‘pede’ dalam proses penyelidikannya sendiri. Bahkan akan disangka kriminalisasi atau pesanan karena memaksakan seseorang harus tersangka.
Ahmad A. Hariri
Peneliti Lembaga Studi Anti Korupsi (LSAK)
Tinggalkan Balasan