Jakarta – Puluhan massa tergabung dalam Forum Komunikasi Masyarakat Pengungsi Pelauw (FKMPP) berunjuk rasa didepan Istana Negara Jakarta, Senin (19/9/2016). Mereka meminta Presiden Republik Indonesia Joko Widodo (Jokowi) dan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo untuk mengintervensi penyelesaian pengungsi konflik pelauw.

“Kami meminta kepada Mendagri untuk memperjelas status pengungsi Pelauw paska konflik. Presiden segera mengintervensi konflik pengungsi,” demikian disampaikan Koordinator aksi Hadi Latupono saat berorasi.

Dalam aksinya para pengunjuk rasa menggelar spanduk, poster bertuliskan diantaranya “Pemerintah Kab. Maluku Tengah telah gagal dalam penyelesaian konflik pengungsi negeri pelauw. Meminta kepada negara untuk hadir dan meninjau repatruasi peserta memperjelas status pengungsi negeri pelauw paska konflik”.

Selain itu, lanjut Hadi, pihaknya menyerukan agar DPRD Provinsi Maluku selaku lembaga perwakilan rakyat untuk mendesak Gubernur Maluku dan Bupati Maluku Tengah agar sesegera mungkin memulangkan pengungsi pasca konflik pelauw ke Negeri asalnya. DPRD Provinsi Maluku, untuk sesegera mungkin melakukan hearing pendapat di kantor DPRD Provinsi Maluku, bersama Gubernur Maluku, Bupati Maluku Tengah dan Seluruh anggota DPRD Provinsi Maluku serta semua warga pengungsi konflik pelauw untuk memastikan kapan pengungsi akan di kembalikan ke negeri pelauw.

“Apabila Pemerintah Daerah tidak mengindahkan tuntutan kami maka Kantor DPRD Provinsi Maluku merupakan tempat pengungsian kami yang terakhir,” tegas Hadi.

Dijelaskan dia, konflik Pelauw yang terjadi pada tanggal 10-11 Februari 2012 telah meluluh lantahkan negerinya, dan mengakibatkan kurang lebih 470 rumah terbakar, 6 korban nyawa dan bahkan ribuan orang mengungsi, yang terdiri dari anak-anak dan perempuan. Berdasarkan data terbaru pasca konflik pelauw 2012 jumlah pengungsi yang tersebar ke tempat pengungsian khususnya rohmoni/kabau mencapai 569 jiwa dari 133 kepala keluarga, sementara yang mendiami kota ambon (Arbes, Stain, Kate-Kate,dan Waeheru) mencapai 602 jiwa dari 148 kepala keluarga. Dengan demikian jumlah pengungsi yang tersebar di negeri rohmoni/kabau dan kota ambon berjumlah 1.171 jiwa dari 281 kepala keluarga. Tak hanya itu, anak putus sekolah juga menjadi imbas dari konflik tersebut.

“Dampaknya dari hasil konflik adalah mereka tidak dapat melanjutkan pendidikan,” terang dia.

Lebih lanjut, Hadi menyayangkan tidak ada upaya serius dari Pemerintah Daerah dalam menyelesaikan dan mengembalikan pengungsi pelauw ke tempat asalnya. Ini membuktikan bahwa Negara dalam hal ini Pemerintah Daerah telah gagal dalam mengimplimentasikan amanat UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam memberikan perlindungan dan kemakmuran bagi rakyatnya.

Untuk diketahui, 4 Tahun 7 Bulan masyarakat pengungsi konflik pelauw berjuang mencari keadilan dengan mendatangi semua pemangku kebijakan di daerah ini, mulai Gubernur Maluku, Bupati Maluku Tengah, DPRD Maluku, KAPOLDA Maluku, PANGDAM XVI Pattimura, POLRES Pulau Ambon dan Pulau-Pulau Lease, DANDIM 1504 Pulau Ambon dan Pulau-Pulau Lease, Danrem 151 Binaya dan bahkan masih banyak lagi langkah langkah diplomasi yang persuasif sudah ditempuh oleh para pengungsi korban konflik pelauw dalam mencari keadilan di negeri ini, namun tak satupun membuahkan hasil, termasuk pendekatan Pela-Gandong dengan Wakil Gubernur Maluku di ruang kerjanya.

“Ada apa dengan penyelesaian pengungsi konflik pelauw sampai berkepanjangan selama 4 Tahun 7 bulan. Sungguh ironis,” tandasnya.

Temukan juga kami di Google News.