Jakarta – Dari penelitian yang dilakukan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta dan Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI FHUI), telah ditemukan sejumlah gambaran terkait pelaksaan prapenuntutan dan analisa hukum terhadap permasalahan tersebut.

Salah satu temuan dari penelitian itu adalah terdapat kurang lebih 255.618 ribu perkara dari total kurang lebih 645.780 ribu perkara yang disidik oleh penyidik kepolisian, yang penyidikannya tidak diberitahukan kepada penuntut umum sepanjang tahun 2012 s.d 2014.

Atas temuan ini, Pengacara Publik LBH Jakarta selaku peneliti Ichsan dalam penelitian itu menjelaskan bahwa ratusan ribu perkara yang disidik tanpa diberitahukan kepada penuntut umum dapat diartikan sebagai perkara yang disidik tanpa adanya transparansi, check and balance, dan pengawasan dari penuntut umum.

“Tanpa adanya SPDP, penyidikan akan kehilangan pengawasan dari penuntut umum, dan penyidikan tanpa pengawasan tentu akan membuka peluang terjadinya kesewenang-wenangan. Salah tangkap, kriminalisasi, penyiksaan, undue delay, korupsi peradilan, jual beli perkara, dan berbagai bentuk kesewenang-wenangan lain adalah imbas dari penyidikan yang dilakukan tanpa pengawasan efektif,” jelas Ichsan.

Hal itu disampaikannya saat peluncuran hasil penelitian yang berjudul “Prapenuntutan Sekarang, Ratusan Ribu Perkara Disimpan, Puluhan Ribu Perkara Hilang: Penelitian Pelaksanaan Mekanisme Prapenuntutan di Indonesia Sepanjang Tahun 2012-2014”, Jumat (22/7/2016).

Selanjutnya, kata Ichsan, dari penelitian itu juga diperoleh temuan berupa terdapat kurang lebih 44.273 ribu perkara “hilang” dari total kurang lebih 353.000 ribu perkara yang diterima oleh penuntut umum sepanjang 2012-2014. Terkait hal ini, peneliti MaPPI FHUI, Adery Ardhan menjelaskan bahwa terjadinya kasus-kasus “hilang” perkara dalam jumlah yang begitu besar adalah dikarenakan tidak efektifnya pola kordinasi antara penyidik dan penuntut umum.

Adery menjelaskan tidak adanya keterlibatan aktif penuntut umum dalam tahap penyidikan mengakibatkan seringkali adanya ”gap” pemahaman antara penyidik dan penuntut umum, yang berujung pada tidak mampunya
penyidik memenuhi petunjuk penuntut umum atau bolak balik berkas perkara berkepanjangan.

“Permasalahannya adalah, saat penyidik tidak mampu memenuhi petunjuk JPU, penyidik malah menggantung perkara tersebut. Seharusnya apabila memang tidak bisa memenuhi petunjuk JPU, penyidik harus fair menghentikan perkara tersebut,” ujarnya.

Dari dua temuan tersebut, sambungnya, setidaknya diperoleh gambaran bahwa mekanisme prapenuntutan, atau mekanisme kordinasi penyidik dan penuntut umum masih
belum efektif. Hal ini tergambar dari pelanggaran kewajiban pemberitahuan penyidikan kepada penuntut umum yang terjadi dalam jumlah yang sangat masif, dan begitu banyaknya jumlah perkara-perkara yang hilang.

“Kedepannya, melalui penelitian ini diharapkan dapat dijadikan acuan bagi pemangku kebijakan dalam merumuskan perbaikan pola hubungan penyidik dan penuntut umum dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia,” tukasnya.

Temukan juga kami di Google News.