Jakarta – Perkumpulan Konsultan Hukum Menentang Penyiksaan (PKHMP) menyebut pengajuan calon tunggal Kapolri Komjen Tito Karnavian untuk disetujui oleh DPR merupakan hak prerogatif Presiden. Namun, hendaknya calon Kapolri yang diajukan itu mempunyai visi dan “blue print” dalam melanjutkan reformasi Polri yang sampai saat ini belum sesuai dengan harapan rakyat Indonesia.

Menurut Deputi Direktur Bidang Advokasi Hukum dan HAM PKHMP Maruli Tua Rajagukguk reformasi Polri harus dimulai dengan pembenahan internal di tubuh Polri sendiri, dengan membuat kebijakan internal yang menjamin bahwa penegakan hukum yang dilakukan oleh Polri bebas dari tindak penyiksaan dan kriminalisasi (zero tolerance to torture).

“Sehingga, kedepan penegakan hukum yang dilakukan oleh Polri ala cita rasa rakyat bukan penegakan hukum yang mengabdi kepada kepentingan tertentu,” kata Maruli, Rabu (22/6/2016).

Bila, kata dia, Kapolri pengganti Badrodin Haiti mampu menciptakan kebijakan internal yang menjamin penegakan hukum bebas dari penyiksaan dan kriminalisasi. Maka hal tersebut merupakan terobosan baru di korps Bhayangkara, mengingat Kapolri sebelumnya belum menjadikan penegakan hukum bebas dari penyiksaan dan kriminalisasi sebagai prioritas utama dalam menjalankan reformasi Polri.

“Akibatnya kepercayaan rakyat terhadap Polri semakin tergerus,” ujar Maruli.

Maruli menambahkan, penegakan hukum dinilai masih kental dengan penyiksaan dan kriminalisasi seperti dalam kasus Siyono yang dituduh melakukan tindak pidana terorisme. Densus 88 disinyalir kuat melakukan penyiksaan, yang mengakibatkan Siyono meninggal dunia. Hal tersebut merupakan penegakan hukum yang tidak beradab, padahal Indonesia adalah pihak negara yang telah meratifikasi banyak konvensi internasional seperti Konvensi Menentang Penyiksaan dan Konvenan Hak-hak Sipil dan Politik.

“Konvensi internasional tersebut mewajibkan negara Indonesia untuk mewujudkan penegakan hukum yang bebas dari penyiksaan dan kriminalisasi,” terang dia.

Oleh karena itu, tambah Maruli, PKHMP merekomendasikan beberapa hal yaitu: pertama, Komisi III DPR RI ketika melakukan fit and propert test harus mampu memastikan calon Kapolri memiliki visi untuk melanjutkan reformasi Polri, yakni mewujudkan penegakan hukum yang bebas dari penyiksaan dan kriminalisasi.

Berikutnya, lanjut dia, kepada calon Kapolri Komjen Tito Karnavian, bila disetujui dan dilantik sebagai Kapolri harus melanjutkan reformasi Kepolisian dimulai dari penegakan hukum yang bebas dari penyiksaan dan kriminalisasi, dengan cara menyusun kebijakan dan blue print di internal Polri, yang pada pokoknya memuat: Kebijakan internal Kepolisian yang dapat mendorong penghapusan penyiksaan, mencegah terjadinya salah tangkap atau rekayasa kasus dan kriminalisasi terhadap rakyat yang sedang memperjuangkan hak-haknya.

“Menindak tegas anggota Kepolisian yang melakukan penyiksaan, rekayasa kasus dan kriminalisasi dengan ketentuan pidana yang berlaku,” tuturnya.

Selain itu, tambah dia, membuka akses informasi dan memberikan ruang keterlibatan yang memadai bagi para korban dalam proses penegakan disiplin dan kode etik Kepolisian. Juga membangun pengawasan, kinerja yang transparan dan kredibel di internal Kepolisian sebagai bagian dari proses percepatan reformasi kultural Kepolisian.

“Kebijakan internal tersebut memuat pemulihan hak-hak korban-korban salah tangkap, rekayasa kasus, penyiksaan dan kriminalisasi,” tandasnya.

Untuk diketahui, Perkumpulan Konsultan Hukum Menentang Penyiksaan (PKHMP) atau The Association of Legal Consultants for Against Torture (ALCAT), merupakan organisasi masyarakat sipil yang fokus dengan isu anti penyiksaan. Pendiri dan pengurus organisasi terdiri dari para pengacara dan pegiat HAM.

Temukan juga kami di Google News.