Oleh: Ayik Heriansyah
Pengurus Lembaga Dakwah PWNU Jabar
Kasus-kasus mega korupsi yang dilakukan oleh aparat dan pejabat pemerintahan menjadi sinyalemen bahwa rakyat Indonesia tidak aman dari tipu daya mereka. Rakyat tidak aman secara politik.
Sudah gagal mensejahterakan rakyat, korupsi lagi. Pemerintah dinilai tidak amanah dan kredibel. Tidak becus mengurus rakyat. Akibatnya dihujat rakyat Indonesia seantero nusantara.
Menengok sejarah umat Islam, sikap terhadap ulah pemerintah mengelompokkan masyarakat menjadi 3 kelompok besar: Murji’ah, Aswaja dan Khawarij.

Kaum Murji’ah senantiasa pro pemerintah karena menyerahkan pendapat politiknya kepada pemerintah. Berbeda dengan kaum Khawarij yang pendapat politiknya selalu kontra dengan pemerintah karena meyakini pemerintah adalah operator sistem kufur.
Murji’ah bersikap kumaha pamarentah (terserah pemerintah) dan Khawarij berpikir kumaha aing (terserah saya). Murji’ah taat kepada pemerintah secara mutlak tanpa syarat. Secara umum tanpa takhsis. Sedangkan Khawarij sebaliknya, menentang pemerintah secara mutlak tanpa syarat. Secara umum tanpa takhsis.
Aswaja berada di posisinya sendiri. Tidak selalu pro atau kontra dengan pemerintah. Tidak selalu taat dan tidak selalu menentang. Karena pendapat politik Aswaja berdasarkan kumaha fiqih siyasah, maqashid syariah dan manuthun bil maslahah.
Berbeda dengan Hizbut Tahrir yang memandang sumber kerusakan negara terletak pada sistem pemerintahan (nizhamul hukmi). Aswaja melihat bahwa yang bermasalah adalah akhlak, adab, moral dan kepribadian dari aparat dan pejabat pemerintahan (syakhsiyah).
Sehingga untuk menyelesaikannya, Aswaja melakukan langkah-langkah perbaikan individual (ishlahiyah syakhsiyah) dengan memberi nasihat, pengarahan, kritik yang membangun, dan amar ma’ruf nahi munkar kepada aparat dan pejabat yang menyimpang.
Pararel dengan hal tersebut, untuk jangka menengah dan panjang Aswaja mendidik, membina dan mencetak calon-calon aparat dan pejabat pemerintah melalui lembaga-lembaga pendidikan formal, informal dan non formal.
Diharapkan lahir generasi aparat dan pejabat baru yang shalih, berakhlak mulia, beradab luhur, bermoral dan berkepribadian Islam. Menjadi aparat dan pejabat pemerintahan yang amanah dan kredibel. Yang mampu mengembalikan rasa aman politik masyarakat Indonesia.
Di dalam kitab Lathaiful Minan, Syaikh Abul Hasan asy-Syadziliy berkata,”Pada suatu hari dalam sebuah perjalanan, aku diam di sebuah gua. Aku bermunajat, “Ya Allah, kapan aku menjadi hamba yang bersyukur?” Lalu terdengar sebuah suara, “Ketika kau tidak melihat ada yang diberi nikmat selainmu.”
Aku menjawab, “Ya Allah bagaimana aku tidak melihat orang yang diberi nikmat selainku, sementara Kau telah memberi nikmat kepada para Nabi, para ulama, para penguasa?” Suara itu kembali berkata, “Kalau bukan karena para Nabi, kau tidak akan mendapat petunjuk. Kalau bukan karena ulama, kau tidak akan bisa meneladani. Kalau bukan karena penguasa, kau tidak akan merasa aman. Jadi, semua nikmat-Ku telah Ku berikan kepadamu.”
Rasa aman secara politik adalah nikmat dari Allah swt. Lebih tegas lagi Syaikh Ibnu ‘Athaillah mengatakan, “Siapa yang tidak mensyukuri nikmat, berarti ia telah menghilangkan nikmat itu, dan siapa yang mensyukurinya maka ia telah mengikatnya dengan tali kekang.”
Syaikh Zarruq mengingatkan, “Siapa yang tidak bersyukur maka nikmat yang telah Allah limpahkan akan dirampas dan ditanggalkan darinya dengan cara yang tidak diduga dan tidak diketahui.”
Kita berharap semoga Allah Swt mengembalikan nikmat rasa aman secara politik kepada kita melalui aparat dan pejabat pemerintahan yang amanah dan kredibel.
Tinggalkan Balasan