Jakarta – Koalisi Pemantau Peradilan (KPP) kembali menyoroti fenomena tertangkapnya aktor dan lembaga peradilan yang terjerat tindak pidana korupsi.

Sebelumnya, 20 April 2016 Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap Panitera PN Jakpus Edy Nasution karena diduga menerima suap dalam upaya pengajuan peninjauan kembali di PN Jakpus. Dan lebih gemparnya ikut menyeret nama beken di lembaga sekelas Mahkamah Agung (MA) yakni Sekretaris MA Nurhadi yang kini telah dicekal keluar negeri. Bahkan dalam penggeledahan rumahnya, penyidik telah menyita beberapa duit yang diduga terlibat dalam perkara tersebut.

Aktivis KPP Difitri Susanti pun mendesak agar Ketua MA memberikan pernyataan sikap secara jelas terhadap permasalahan korupsi yang terjadi di lembaga Yudisial tersebut.

“Kami minta juga MA agar bekerjasama dengan KPK dan KY dalam memetakan modus praktik suap dilembaga peradilan dan menyusun langkah pencegahannya,” tegas Susanti, dalam jumpa pers di LBH Jakarta, Selasa (10/5/2016).

Menurut pengajar Sekolah Tinggi Hukum Gentera itu, rentetan kasus yang terjadi di lembaga peradilan ini patut disikapi secara serius. Tertangkapnya pegawai pengadilan tak bisa dilihat sebagai persoalan individu semata, melainkan adanya kelemahan mendasar dari sistem pengawasan dan pembinaan di lembaga Pengadilan.

“Langkah strategis ini perlu diambil oleh MA. Jadi tidak cuma dibentuk tim khusus dibawah badan pengawas MA saja, melainkan bekerjasama dengan KPK dan KY untuk petakan jaringan mafia peradilan dan merumuskan sistem pengawasan dan pembinaan,” terang Susanti.

Susanti pun menyayangkan persoalan serius tersebut yang belum juga direspon oleh Ketua MA sebagai pimpinan Pengadilan di seluruh Indonesia. Ia pun menduga persoalan mafia hukum atau korupsi yudisial itu bukan menjadi sesuatu yang penting bagi Ketua MA.

“Sikap tak jelas Ketua MA menunjukkan bahwa MA tak memiliki komitmen dalam melakukan pembenahan secara menyeluruh, bahkan kondisi ini terkesan dipelihara,” ucapnya.

Susanti melanjutkan, jika ditarik kebelakang sedikitnya ada 35 orang Hakim, Panitera atau pegawai Pengadilan yang terjerat kasus korupsi sejak KPK berdiri. Jika dilihat lebih jauh, praktik korupsi ditubuh Pengadilan maka dapat disimpulkan bahwa setiap orang berpotensi melakukan praktik korupsi.

“Rentetan kasus itu menunjukkan adanya praktik korupsi yudisial yang sistemik, masif, dan mengakar di institusi Pengadilan,” tukasnya.

Temukan juga kami di Google News.