Jakarta – Ketua Setara Institute Hendardi, menilai propaganda tentang kebangkitan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang mengaitkan sejumlah kegiatan mempromosikan pengungkapan kebenaran peristiwa 1965, baik melalui film, diskusi, penerbitan buku dll diduga merupakan desain pihak-pihak tak bertanggung jawab untuk mengadu domba masyarakat.
“Juga menghalangi niat negara melakukan rekonsiliasi, dan membenarkan seluruh pembatasan dan persekusi kebebasan sipil,” tegas Hendardi, Senin (9/5/2016).
Menurutnya, penyebaran stigma PKI terhadap beberapa kegiatan telah membangkitkan kebencian orang pada upaya-upaya persuasif, dialogis, dan solutif bagi pemenuhan hak-hak korban peristiwa 1965.
“Agak ganjil ketika TNI dan Polri merasa confirm bahwa PKI akan bangkit, padahal mereka memiliki intelijen yang bisa memberikan informasi akurat perihal fenomena di balik berbagai pembatasan dan persekusi atas kebebasan berekspresi, berpendapat, dan berkumpul yang dalam 3 bulan terakhir terus terjadi,” beber dia.
Hendardi melanjut kalangan awam pun sebenarnya ragu akan propaganda kebangkitan PKI mengingat konstruksi ketatanegaraan Indonesia yang semakin demokratis. Di sisi lain, kata dia, PKI sebagai sebuah partai juga mustahil bisa berdiri di Indonesia. Sikap TNI dan Polri yang turut mereproduksi propaganda tersebut menunjukkan bahwa intelijen mereka tidak bekerja.
“Atau bisa jadi justru pihak TNI adalah bagian dari kelompok yang melakukan penolakan atas upaya masyarakat sipil mendorong pengungkapan kebenaran,” ungkapnya.
Lebih jauh, Hendardi mengatakan situasi ini jelas tidak produktif bagi praktik demokrasi dan pemajuan HAM. Apalagi statement-statement Menhan RI misalnya, bukan malah menyejukkan tapi malah menyebarkan kebencian dan memperkuat segregasi sosial. Publik perlu tahu bahwa korban dari propaganda itu bukan hanya korban 1965 tetapi kebebasan sipil warga. Bahkan mereka yang tidak membahas soal PKI pun dipersekusi dengan stigma yang sama.
“Jokowi sebaiknya segera bersikap soal rencana menyusun skema penuntasan pelanggaran HAM berat masa lalu, sehingga dinamika dan kohesi sosial tidak rusak akibat propaganda-propaganda yang tidak berdasar,” tandasnya.
Tinggalkan Balasan