Jakarta – Pengurus Besar Pelajar Islam Indonesia (PB PII) periode 2023-2025 menggelar Kajian Politik dan Konsolidasi Nasional dengan tema “Pelajar Menggugat! Demokrasi yang Tidak Sehat!” dilaksanakan secara online dan untuk seluruh kader PII, Rabu (7/2/2024).
Kegiatan yang diinisiasi oleh Departemen Media dan Kajian Isu Bidang Komunikasi Umat PB PII dalam rangka upaya penyatuan langkah untuk menghadapi pemilu 2024.
Ketua Umum PB PII, Abdul Kohar Ruslan, mengatakan, bahwa pemilu tinggal menghitung hari lagi. Pihaknya berupaya terus melakukan pengawalan pesta demokrasi.
“Kita tidak boleh luput untuk melakukan edukasi dan mengimbau kader PII agar menggunakan hak pilih tanpa intervensi dari pihak manapun,” ujarnya.
Kohar, menambahkan, sudah muncul sekitar 30an kampus dalam menyatakan sikap demokrasi yang yang seharusnya berjalan.
“Jika kalangan ilmuan, akademisi dan situasi masyarakat mengalami keresahan karena hal yang dulu pernah terjadi. Khawatir masyarakat akan menikmati proses pembelajaran politik dari cara yang sama,” tambahnya.
Pada diskusi Kajian Politik dan Konsolidasi Nasional, masing-masing pemateri menyampaikan melalui kacamata yang berbeda.
Ketua Bidang Komunikasi Umat, Furqan Raka, menyebutkan, politik dinasti mutlak tidak diperbolehkan, namun jika masih ada maka perlu di pertanyakan.
“Tidak dibenarkan nepotisme, melanjutkan kekuasaan dengan cara memaksa. Apalagi di atur oleh pemerintah maupun oleh MK. Kandidat cawapres sejatinya itu belum layak tapi tetap lanjut karena aturan yang mengikat, sedangkan MK itu sendiri harusnya tempat mengadu dan menggugat,” kata Furqan.
Selanjutnya, Kepala Staf (Kastaf) Korpus Brigade PII, Fariski Adwari, menuturkan, kalau pembahasan keindonesiaan itu kisruh pada event pemilu dan menjadi problematika
“Kita harus menggaris bawahi sikap pelajar itu harus seperti apa. PII menggembleng kader harus berpikir secara rasional bukan emosional,” ujarnya.
Selanjutnya, Ketua Korpus Korps PII Wati, Rohayati, mengatakan pihaknya memiliki pandangan yang sama terhadap politik karena tidak harus beda antara perempuan dan laki-laki dalam menyikapi politik.
“Keterlibatan perempuan harus ada dalam politik, namun dari pemilu ke pemilu belum masuk 30%. Bahkan dari 18 partai yang ada, pemilu kali ini juga tidak ada keterwakilan untuk standarisasi angka normal.
Selanjutnya, Gusti Rian Saputra, menyebutkan, kalau SDA Indonesia itu harusnya mensejahterakan rakyat. Tindakan ini bukan soal pilihan politik,
karena melihat fenomena, di negara kaya akan SDA tapi miskin masih merajalela.
“Kita memiliki SDA banyak salah satu yang terkaya di dunia tapi ketimpangan sosial dan angka pengangguran masih cukup tinggi,” tutupnya.
Tinggalkan Balasan