Jakarta – Isu mengenai potensi SARA pada Pilkada serentak 2017 khususnya di DKI Jakarta sudah mulai nampak dalam berbagai respon masyarakat di banyak media, termasuk media sosial. Bahkan bisa dianggap isu seputar SARA yang menjadi ajang diskusi dalam berbagai media sosial sudah semakin menggila. Isu SARA dieksploitasi demi menjegal atau mengkambing hitamkan salah satu calon kontestan politik. Tema yang diusung seperti muslim, kafir atau cina diangkat sebagai bentuk eksploitasi identitas kepolitikan seorang calon, sehingga sangat mudah tenggelam dalam buaian isu SARA yang justru semakin mengkhawatirkan.
Aliansi Mahasiswa dan Pemuda untuk Keadilan (Amalan) Rakyat pun tergugah untuk mendinginkan suasana di saat memasuki musim Pilkada serentak kali ini. Mereka menyerukan kepada semua pihak untuk bersama-sama menjaga suasana kondusif pada pelaksanaan Pilkada serentak nantinya. Juga berharap Pilkada nanti bisa berlangsung dengan damai serta terhindar dari penyalahgunaan isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
“Isu SARA ini semestinya tidak dianggap enteng, karena bisa saja berpotensi dalam memecah belah kesatuan dan persatuan bahkan dapat merongrong kekuasaan negara,” tegas Aktivis Amalan Rakyat Frans Fredy, Selasa (25/10/2016).
Mereka pun mengaplikasikan untuk penolakan isu SARA itu dengan cara menyebarkan dan memasang spanduk diseluruh Ibukota untuk mengajak masyarakat dan mengajak mahasiswa dan pemuda agar tidak terprovokasi oleh kondisi suhu politik saat ini. Menurut Frans, ketika isu ini terus dipakai dalam mendukung atau menolak terhadap identitas kepolitikan sesorang, justru akan merusak tatanan masyarakat yang ada karena rajutan perdamaian yang terbina selama ini sudah pasti akan terkoyak-koyak. Dia meyakini, isu SARA sangat ampuh dalam memecah-belah masyarakat sehingga akan mengancam integrasi bangsa yang selama ini telah terbangun.
“Saya membaca persaingan masyarakat dalam rangka kontestasi politik pada Pilkada serentak khususnya di DKI Jakarta sudah mulai diwarnai SARA melalui serangkaian tuduhan-tuduhan secara terbuka mengenai identitas kepolitikan para bakal cagub DKI Jakarta yang diusung,” ucap dia.
Frans menyayangkan jika hal itu terus dilakukan sama saja masyarakat Indonesia secara kultural memang masih belum siap berdemokrasi. Norma-norma masyarakat Indonesia yang tercermin dalam Pancasila hanya kaya dalam tataran konsep, tapi miskin dalam berbagai aspek pelaksanannya. Era Reformasi yang telah digulirkan sejak 1998 lalu hanya berdampak sedikit terhadap kondisi demokratisasi di Indonesia.
“Konsep-konsep yang digulirkan para pemimpin kita dalam memperbaiki kondisi berbangsa dan bernegara hanya sanggup mengawang-awang atau berhenti pada setumpuk kertas diatas meja para pemimpinnya tanpa implementasi yang jelas. Isu SARA yang mulai muncul didepan publik-pun hanya disikapi biasa-biasa saja, tanpa diselesaikan oleh kedewasaan kita dalam berpikir maupun bersikap,” bebernya.
Lebih lanjut, Frans menegaskan isu mengenai SARA sebaiknya tidak dimanfaatkan dalam kontestasi politik karena dikhawatirkan membuat situasi menjadi keruh. Dia meyakini menggunakan SARA untuk tujuan politik adalah cara-cara primitif dalam demokrasi. Pihaknya mendorong agar seluruh pasangan calon gubernur-wakil gubernur beserta tim sukses dan pendukungnya untuk berkampanye kreatif serta mengangkat topik yang berdampak pada kemajuan warga di wilayahnya.
“Kami tidak menginginkan isu SARA ini justru menghancurkan tatanan kerukunan umat beragama yang sudah lama terjalin. Indonesia adalah negara yang beraneka ragam suku, budaya, adat, dan agama. Jadi tidaklah mungkin jika nantinya ada yang ingin membuat NKRI ini memakai sistem syariah Islam,” tandasnya.
Diketahui, isi spanduk yang disebar tersebut bertuliskan “Mahasiswa Cerdas Tidak Ikutan Bicara Rasis, Harus Bicara Akademis, Ente Kan Intelektual Bro, Mahasiswa dan Rakyat Bersatu Menyukseskan Pilkada Damai Tanpa Isu SARA untuk DKI Jakarta, Pilkada Bukan Arena Perang tapi Ruang Demokrasi Kita Bersama”.
Tinggalkan Balasan