Oleh: Mahyudin Rumata
Ketua PB HMI Bidang Pertanian dan Kelautan
Reklamasi, demikian kata yang belakangan menjadi hangat di perbincangkan di kalangan aktivis hingga konglomerat. Dalam catatan sejarah, reklamasi sudah di lakukan sejak lama oleh manusia. Riset sejarah reklamasi telah di mulai semenjak zaman dinasti han di hongkong (206 SM- 9 SM), saat itu reklamasi di lakukan untuk mengubah kawasan pantai untuk menjadi kawasan pertanian garam. Pada tahun 1890, Hongkong melaksanakan proyek reklamasi lainnya adalah mega proyek yang di namai Praya Reclamation Scheme. Selain hongkong, pada abad 17 pulau Makau yang dari semula luasnya 15 meter persegi, direklamasi menjadi 23,6 kilometer persegi. Tahun 1850an, selandia baru membangun pelabuhan wellington di atas lahan reklamasi.
Tahun 1980an Negara-negara maju mulai gencar untuk melakukan pembangunan property di atas lahan reklamasi. USA menjadi salah satu Negara yang melakukan itu. Inggris dengan “London Docklands” di Canary Wharf, maupun Prancis dan beberapa Negara lainnya. Indonesia, mulai ikut-ikutan mengembangkan kawasan waterfront di beberapa daerah seperti Jakarta, Bali, Makassar, Manado dll. Jakarta dengan gagasan “Waterfront City”, reklamasi pantai utara Jakarta bukan barang baru, gagasan ini telah di mulai semenjak 1620 di era colonial. Saat itu, Batavia ingin di jadikan seperti Amsterdam. Berikut pasca kolonial, pada era Soeharto rencana reklamasi pantai Jakarta utara di mulai tahun 1995, dengan di terbitkannya Keputusan Presiden No. 52 Tahun 1995. Rencana reklamasi pantai utara Jakarta kembali di tindaklanjuti lebih serius saat Jakarta di bawah kepemimpinan Fauzi Bowo hingga Ahok.
Warna Warni Reklamasi Teluk Jakarta
Geliat reklamasi di utara Jakarta, atau biasa di kenal reklamasi teluk Jakarta menghiasi ruang-ruang publik. Reklmasi teluk Jakarta bukan sesuatu yang baru, hal ini telah di lakukan sejak tahun 1980an. Kawasan pantai pluit yang sekarang menjadi pemukiman mewah pantai mutiara, dahulu di di timbun oleh PT. Harapan Indah. Berdasarkan catatan penulis, dari hasil penelusuran, pada tahun 1981, PT. Pembangunan Jaya mereklamasi kawasan Ancol sisi utara untuk kawasan industry dan rekreasi. Tahun 1991, hutan bakau di habisin dengan tujuan mereklamasi untuk kawasan pemukiman mewah yang sekarang di kenal dengan sebutan Pantai Indah Kapuk. Kawasan Industri Berikat Marunda, menjadi bagian dari hasil reklamasi pada tahun 1995.
Pro dan kontra tak terelakkan semenjak itu, masing-masing dengan argumentasinya, yang pro dengan mengusung wacana untuk kepentingan perluasan Jakarta sebagai ibukota Negara hingga kepentingan koorporasi, dengan memanggul semangat Keputusan Presiden No. 52 tahun 1995 dan Peraturan Daerah Nomor 8 tahun 1995. Namun, munculnya dua regulasi ini bertentangan dengan Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) Jakarta 1985-2005, karena dalam RUTR tidak menjelaskan tentang rencana reklamasi. Disinilah, awal mula munculnya dikotomi argumentasi yang di kanalisasi oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta di satu sisi dan Kementerian Lingkungan Hidup di sisi yang lain. Kementerian LH menyebutkan reklamasi tidak layak di lakukan karena akan merusak lingkungan. Sementara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengindahkan peringatan Kementerian LH dengan tetap melanjutkan reklamasi.
Perang kewenangan pun berlanjut, tahun 2003 Kementerian Lingkungan Hidup menyatakan Proyek Reklamasi tidak bisa di lakukan karena DKI tidak memenuhi kewajibannya mematuhi kaidah penataan ruang dan ketersediaan teknologi pengendali dampak lingkungan. Ketidaklayakan tersebut di tuangkan dalam Surat Keputusan (SK) Menteri Lingkungan Hidup Nomor 14 Tahun 2003 Tentang Ketidaklayakan Rencana Kegiatan Reklamasi dan Revitalisasi Pantai Utara. Namun, Surat Keputusan tersebut tidak menghentikan langkah Pemerintah DKI, kebandelan Pemprov DKI tersebut di tunjukkan dengan pada Tahun 2007, enam pengembang yang mendapatkan hak reklamasi menggugat Menteri LH ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), gugatan tersebut dengan dalih persyaratan reklamasi telah lengkap, termasuk izin amdal regional, oleh PTUN memenangkan gugatan ke enam pengembang tersebut. Tak berhenti sampai disitu, Kementerian LH mengajukan banding atas keputusan PTUN tersebut, namun apa di kata ke enam perusahan tersebut masih terlalu perkasa. Kementerian LH belum kehabisan nafas saat di keroyok enam pengembang tersebut, Kemnterian LH mengajukan Kasasi ke Mahkamah Agung. Pada tanggal 28 Juli 2009, MA memutuskan mengabulkan kasasi Kementerian Lingkungan Hidup dan MA menyatakan reklamasi menyalahi AMDAL.
Ibarat bermain akrobat, setiap lembaga Negara mulai mengambil peran masing-masing dalam sirkus bernama “Reklamasi”. Tahun 2011, situasi mulai berubah. MA mengeluarkan putusan dengan Nomor 12/PK/TUN/2011, yang menyatakan reklamasi di pantai Jakarta legal. Oleh pengembang menganggap Keputusan MA akan membawa angin segar untuk melanjutkan reklamasi, ternyata tidak seperti yang di bayangkan. Desakkan untuk Pemprov DKI untuk melaksanakan kajian amdal untuk memperbaharui amdal yang di ajukan tahun 2003 dan membuat dokumen KLHS semakin kencang. Hiruk pikuk reklamasi pun mulai mengema, menyasar seluruh kelompok kepentingan.
Pada saat reklamasi antara ada dan tiada, Presiden RI saat itu SBY mengeluarkan produk hukum baru dengan menerbitkan Perpres Nomor 122 Tahun 2012 tentang reklamasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Jakarta ketika itu di bawah kepemimpinan Gubernur Fauzi Bowo kembali mengukuhkan rencana reklamasi. Pada desember 2014, muncul Surat Keputusan Gubernur DKI Nomor 2238 Tahun 2013 tentang pemberian izin reklamasi Pulau G kepada PT. Muara Wisesa Samudra.
Setelah Kementerian LH, kini giliran Kementerian Kelautan dan Perikanan yang menilai kebijakan Gubernur tersebut adalah pelanggaran kewenangan, menurut KKP kewenangan memberikan izin di area laut strategis menjadi kewenangan Kementerian Kelautan dan Perikanan walaupun lokasinya berada dalam wilayah administrasi Pemprov DKI. Disaat protes KKP tersebut, datanglah Kemnterian Koordinator Kemaritiman (masih di pimpin Rizal Ramli) yang meminta pengembang dan Pemprov DKI membuat kajian ilmiah rencana reklamasi Pulau G, menurut asumsi Kemenko Kemaritiman kajian tersebut agar public mengetahu rencana detail proyek reklamasi.
Pada September 2015, Kemnterian Kelautan dan Perikanan mengeluarkan kebijakan Moratorium reklamasi. Berdasarkan kebijakan KKP tersebut, reklamasi dapat di lakukan namun hanya untuk kepentingan pembangunan pelabuhan, bandara dan listrik. Walaupun demikian kebijakan KKP, oktober 2015 Pemprov DKI menyatakan mulai mempersiapkan tahap awal pengembangan pulau-pulau reklamasi. Yakni Pulau O, P dan Q yang akan di integrasikan dengan Pulau N untuk pembangunan Port Of Jakarta.
Rizal Ramli saat masih menjabat Menteri Koordinator Kemaritiman, pada Juli 2016 membatalkan reklamasi pulau G, juga Pulau C, D dan N. pembatalan tersebut di sebabkan karena membahayakan lingkungan hidup, lalulintas laut dan proyek vital. Pengembang PT. Muara Wisesa Samudra, yang merupakan anak perusahaan dari Agung Podomoro Land di nilai melakukan pelanggaran berat karena membangun di atas jaringan kabel listrik milik PT. PLN (persero), juga dinilai menganggu lalulintas kapal nelayan. Berdasarkan analisa komite gabungan, yang terdiri atas Kementerian terkait dan Pemprov DKI, reklamasi secara teknis dapat membunuh biota laut.
Selang beberapa hari setelah keputusan komite gabungan yang di pimpin rizal ramli tersebut mengumumkan hasil keputusannya, public di kagetkan dengan keputusan mengejutkan, rizal ramli sebagai Menkomar diganti dengan Luhut Binsar Panjaitan yang semula menjabat sebagai Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan. Waktu pun berjalan, pasca di lantik menjadi menteri Koordinator kemaritiman, rabu 7 september 2016, Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, Luhut Binsar Panjaitan menyebut proyek reklamasi teluk Jakarta tidak bermasalah dan bisa di lanjutkan. Padahal sebelum itu, aktivis lingkungan bersama para nelayan menggugat keputusan pemprov DKI ke PTUN, dan PTUN membatalkan Surat Keputusan (SK) Gubernur DKI Jakarta Nomor 2238 tahun 2013, tentang pemberian izin reklamasi pulau G kepada PT. Muara Wisesa Samudra.
Reklamasi dan Implikasi Sosiologis
Reklamasi telah menjadi geliat pembangunan, pembangunan menjadi suatu keniscayaan di era modern. Pemikiran tentang pembangunan menjadi diskursus menarik, mulai dari Marx, Weber sampai Durkheim. Kelasnya Marxis, modernisasi Rostow memperkaya ulasan pembangunan social hingga pembangunan berkelanjutan. Kini, pembangunan telah menjadi ideology yang mengambarkan kegiatan-kegiatan mengejar pertumbuhan, namun implikasi sosilogis dalam pembangunan mesti menjadi perhatian utama untuk saling memberikan jaminan atas hak dan kelangsungan hidup antar sesama masyarakat.
Perubahan sosial dalam sebuah pembangunan menjadi kebutuhan perencanaan pembangunan. Dalam studi kasus reklamasi teluk Jakarta, hemat penulis ini akan membawa semangat teori deferensiasi struktural ala Smelser. Masyarakat yang mendiami pesisir Jakarta tentu secara kebudayaan telah berakar kehidupannya yang bersentuhan dengan laut dan pesisir, yang oleh pemprov DKI ingin mengeser kebiasaan hidup di pesisir dan laut ke daratan (baca, nelayan akan di evakuasi ke rusun yang disediakan). Tentu setiap perubahan akan menimbulkan akibatnya, akibat dari diferensiasi struktural akan mengakibatkan persoalan baru yang berhubungan dengan problem integrasi, smelser menyarankan agar terbentuknya sebuah lembaga khusus untuk menjembatani kebutuhan masyarakat yang terdeferensiasi, namun di akui smelser problem integrasi bukan problem sederhana karena terdapat beberapa variable yang saling mempengaruhi. Akan terjadi konflik nilai antara masyarakat yang terdeferensiasi dengan lembaga khusus sebagai jembatan. Kondisi tersebut akan menimbulkan akibat-akibat lain yang lebih rumit.
Bersemangatnya pemprov DKI mengencarkan reklamasi, dengan di dorong oleh libido Luhut sebagai Menteri Koordinator Kemaritiman satu sisi, dan pada sisi yang lain genderang perang oleh kelompok civil society dan masyarakat pesisir teluk Jakarta, akan memunculkan ketidaksimbangan antara perkembangan pembangunan dan kelembagaan kemasyarakatan yang di perlukan (baca: nelayan butuh laut, bukan rusun), jika di biarkan menurut Smelser akan menimbulkan kerusuhan social. Berbagai kekacauan akan terjadi, para politisi akan memanfaatkan situasi untuk membuat agitasi politik hingga kekerasan dalam kerusuhan.
Setiap komunitas yang mendiami wilayah tertentu dalam jangka waktu yang cukup lama, tentu memiliki kearifan lokal (local wisdom) dalam pemanfaatan sumberdaya di wilayah sekitar, tak terkecuali nelayan di pesisir Jakarta. Ini balance dengan kajian antropolis Dove yang mengatakan bahwa nilai-nilai kearifan lokal bukan sebagai penghambat pembangunan, malahan dalam konteks tertentu budaya lokal di pandang memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pembangunan. Jakarta dengan semangat reklamasi, penulis berkeyakinan akan menghilangkan tradisi indonesia sebagai bangsa maritime.
***
Waullahualam Bishawab
Tinggalkan Balasan