Jakarta – Imparsial menilai keputusan pergantian Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) adalah hak prerogratif Presiden Joko Widodo (Jokowi), karena dalam UU Intelijen Negara tidak diatur tentang masa jabatan Kepala BIN.

“Jadi proses pergantian Kepala BIN saat ini sah-sah saja,” ungkap Direktur Imparsial Al Araf, Senin (5/9/2016).

Menurut Al Araf, keputusan Jokowi itu juga sejalan dengan amanat Undang-Undang No. 17 tahun 2011 tentang Intelijen Negara. Berdasarkan ketentuan UU Intelijen Negara, BIN harus menjadi institusi intelijen yang bekerja untuk sipil. Hal itu juga sejalan dengan amanat reformasi tahun 1998, salah satunya mengurangi dominasi militer di ranah publik.

“Kepala BIN tidak harus dari kalangan militer kok, tidak ada kewajiban yang mengatur bahwa Kepala BIN harus dari militer. Presiden boleh menunjuk siapa saja yang dinilai mempunyai kemampuan untuk memimpin BIN. Bisa dari kalangan militer, kepolisian, kalangan intelijen karier bahkan dari kalangan sipil sekalipun,” ungkap dia.

Kata Al Araf, intelijen militer seharusnya berada dalam ruang lingkup Badan Intelijen Strategis (BAIS) TNI. BIN seharusnya berbentuk lembaga intelijen sipil, maka mengurangi peran militer dan menggantikannya dengan unsur sipil harus dilakukan.

Selain itu, lanjut dia, sebagai Kepala BIN, nantinya Budi Gunawan (BG) juga harus dapat menjalankan fungsi intelijen strategis di Indonesia. Saat ini reformasi intelijen belum sepenuhnya tersentuh. Saat ini dan ke depannya, dunia intelijen adalah dunia yang berkutat pada intelijen-sipil yang mengandalkan otak, bukan otot.

“Di bawah kepemimpinan BG, diharapkan mampu membawa intelijen sipil yang profesional. Ini yang menjadi tantangan berat bagi Kepala BIN yang baru,” tandasnya.

Temukan juga kami di Google News.