Oleh: Achmad Nur Hidayat MPP (Pakar Kebijakan Publik dan Dosen FEB UPNVJ Veteran Jakarta)

Pada awal tahun 2022, tepatnya 2 Januari 2022 media twitter resmi lembaga Eijkman mengucapkan kalimat perpisahan yang menyedihkan publik Indonesia.

Tahun baru yang seharusnya disambut dengan gembira, namun tidak bagi para peneliti Eijkman tersebut. Mereka menunjukan dengan kesedihannya yang mendalam atas berakhirnya Lembaga Eijkman.

Peneliti tersebut menuliskan kalimat perpisahaan yang menyayat perasaan publik setelah 33 tahun lembaga Eijkman berkiprah dalam pengembangan penelitian Biologi Molekuler Kesehatan dan Obat di Indonesia dan dunia.

Menyedihkan lagi karena peleburan Eijkman ke BRIN berujung pada PHKnya 100 peneliti Eijkman.
Tidak hanya Eijkman, lembaga lain seperti institusi riset seperti Kapal Riset Baruna Jaya harus melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap para 33 anak buah kapal (ABK) yang merupakan tenaga kerja alihdaya (bukan ASN PPNPN BPPT).

Kabarnya banyak lembaga riset lainnya di BPPT, LIPI akan mengalami nasib yang sama.

Bagaimana sebenarnya peta jalan pengelolaan SDM riset Indonesia? Apakah birokratisasi kelembagaan riset diatas daripada kemajuan riset nasional? atau ini adalah bagian dari pelumpuhan kemampuan riset nasional sebagai permainan dari kelanggengan dominasi Oligarki?

Kekakuan Birokrasi Indonesia Tidak Kompatibel dengan Spirit Ilmuan Modern

Kepala BRIN, Laksana Tri Handoko mengatakan bahwa kebijakan pemutusan kerja tersebut adalah bagian dari upaya memperbaiki birokratisasi SDM Ilmuwan Indonesia. Tahap ini BRIN hanya mempertahankan peneliti yang sudah berstatus ASN, karena BRIN harus mengikuti aturan formalitas SDM sesuai aturan kelembagaan negara lainnya.

Oleh karena itu, 100 peneliti EIJKMAN maupun 33 ABK BARUNA JAYA diPHK oleh BRIN dengan dalih status mereka adalah peneliti non PNS, SDM alihdaya dari pihak ketiga dan lain-lain. Inti persoalan kontroversial BRIN ini adalah soal penegakan birokratisasi sebagai prioritas utama BRIN daripada prioritas menemukan vaksin merah putih atau prioritas kesehatan lainnya.

Bila birokratisasi ilmuwan adalah prioritas bagi BRIN maka artinya arah riset nasional Indonesia sudah salah jalan. BRIN perlu diingatkan karena BRIN seharusnya menjadi reinventing riset nasional bukan penghalang bagi kemajuan riset nasional.

BRIN seharusnya tidak memaksakan para peneliti menjadi pegawai negeri sipil (PNS) yang kaku seperti birokrasi lainnya.

Seharusnya BRIN dan 10 Dewan Pengarah BRIN mengetahui bahwa iklim birokrasi tidak cocok dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Hal ini berlaku diseluruh dunia. Semakin birokrat ilmuwan semakin miskin karyanya dan sebaliknya semakin fleksibel aturan birokrasi semakin kaya kreativitas temuan ilmuwan. Penyeragaman para peneliti ke dalam birokrasi BRIN akan membatasi kebebasan akademik mereka.

Riset Vaksin Merah Putih seharusnya prioritas BRIN bila Indonesia tidak mau selalu impor vaksin dari China, Amerika, Inggris, India dan Rusia. Bertambahnya varian baru COVID setiap 3 bulan seharusnya menjadi kewaspadaan ilmuwan Indonesia untuk menemukan vaksin yang tepat guna sesuai khas DNA Warga Indonesia.

Bubarnya Eijkman yang kemudian diakui oleh BRIN sendiri akan memperlambat riset vaksin merah putih seharusnya menjadi evaluasi tersendiri bagi kepemimpinan dan arah perjalanan BRIN. Seharusnya, DPR RI perlu memanggil BRIN termasuk 10 Anggota Dewan Pengarahnya untuk mengklarifikasi secara khusus perihal PHKnya Ilmuwan EIJKMAN, BARUNA JAYA dan terhambatnya pengadaan vaksin merah putih.

Publik menjadi curiga, BRIN menjadi alat untuk pelumpuhan kemampuan riset nasional sebagai permainan dari kelanggengan dominasi Oligarki Global terkait bisnis Vaksin. Sebelum kecurigaan tersebut membesar, para pemangku kepentingan perlu segera mengklarifikasinya.

Seharusnya BRIN belajar dari Jerman, AS, Rusia dan Jepang dalam memberikan fleksibilitas para ilmuwannya. Mereka adalah negara dengan hak paten penemuan terbesar dalam bidang pengetahuan dan teknologi.

Oleh karena itu, rekomendasi untuk BRIN adalah menghentikan prioritas agenda kerja kepada birokratisasi ilmuwan (PHK para peneliti) dengan mengantikannya melalui Public Private Partnership Ilmuan dan BRIN. BRIN harus tetap mengakui mereka sebagai bagian dari BRIN kemudian mengundang institusi privat dan institusi negara lainnya untuk melakukan partnership penelitian bersama para kelompok ilmuwan tersebut. Artinya BRIN harus membuka skema lain untuk para peneliti diluar PNS, BRIN tidak boleh egois memecat mereka padahal BRIN mengemban amanah reinventing riset nasional.

BRIN perlu kreatif dalam melakukan reinventing riset nasional tersebut. Semoga 10 anggota Dewan Pengarah BRIN punya ide kreatif lain memecahkan masalah birokratisasi BRIN. Mereka dipercaya Presiden namun belum ada suaranya di publik soal reinventing riset nasional.

Biografi Singkat:

Achmad Nur Hidayat staf pengajar FEB Universitas Pembangunan Veteran Jakarta (UPNVJ) dan Menjadi CEO Narasi Institute yang aktif dalam pembuatan kebijakan publik.

Temukan juga kami di Google News.