JAKARTA – Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Mouhamad Bigwanto menilai pilihan alternatif suntikan dana tambahan untuk defisit Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) 82/2018 tentang Jaminan Kesehatan pasal 101 akan memicu masalah 100 baru yang jauh lebih besar.
“Alih-alih sebagai tambalan sementara mengatasi krisis sambil membenahi sistem iuran yang jadi sumber masalah, dana tambahan bahkan diambil dari pajak rokok yang merupakan 10% pajak dari penerimaan cukai rokok. Di saat pemerintah masih enggan menaikkan cukai dan harga rokok yang cukup signifikan, adanya kebutuhan untuk meningkatkan pajak rokok demi menutup defisit yang akan semakin naik, akan mendorong peningkatan produksi dan konsumsi rokok,” jelas Wakil Sekretaris Jenderal IAKMI Mouhamad Bigwanto.
Ia menilai kebijakan tersebut sebagai ironi karena pemerintah memutuskan mengambil dana pencegahan penyakit katastropik akibat konsumsi rokok bersumber pada pajak rokok daerah untuk menambal defisit.
“Di saat pemerintah masih enggan menaikkan cukai dan harga rokok yang cukup signifikan, adanya kebutuhan untuk meningkatkan pajak rokok demi menutup defisit yang akan semakin naik, akan mendorong peningkatan produksi dan konsumsi rokok. Ironis, pemerintah memutuskan mengambil dana pencegahan penyakit katastropik bersumber pada pajak rokok daerah untuk menambal defisit penyakit katastropik akibat konsumsi rokok,” tambah dia.
Menurutnya, pemerintah harus berani meningkatkan premi yang menjadi sebab utama defisit anggaran pengobatan walaupun tidak populis. Termasuk kata dia, menaikkan besaran iuran Penerima Bantuan Iuran (PBI) walaupun kebijakan tersebut tidak populis.
“Pemerintah tidak bisa lagi menghindar dari menaikkan harga dan cukai rokok. Di samping mengurangi perokok miskin, mengerem laju pertumbuhan penyakit katastropik, sekaligus mampu menaikkan premi PBI. Namun diharapkan nanti apabila premi PBI dinaikkan semua penggiat kesehatan mendukung kebijakan tersebut,” pungkasnya.
Tinggalkan Balasan