Oleh : Lukman Hakim

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) telah menjadi mercusuar—sebuah monumen politik yang menarik seluruh perhatian dan anggaran negara. Namun, di balik kemegahannya sebagai janji politik utama, program ini menyimpan kerapuhan struktural yang serius. Kerapuhan tersebut bersumber dari kegagalan untuk bersinergi secara utuh dengan kerangka kebijakan gizi nasional yang sudah ada, yakni Percepatan Penurunan Stunting (PPS), serta kelemahan fatal dalam manajemen sentralistik yang mengabaikan keselamatan anak.

*Program Mercusuar dan Kerapuhan Historis*
Kekuatan MBG sebagai “program mercusuar” terletak pada besarnya skala dan akar historisnya yang kuat. Gagasan ini berawal dari konsep yang dikenal sebagai Revolusi Putih, yang telah digaungkan oleh Presiden terpilih Prabowo Subianto sejak sekitar tahun 2006. Ide awalnya berfokus pada pemberian susu gratis untuk anak-anak sekolah, guna memerangi stunting. Dalam kampanye 2024, konsep ini dipopulerkan dengan nama Makan Siang Gratis (MSG), yang kemudian dikoreksi menjadi Makan Bergizi Gratis (MBG) untuk menekankan pada kualitas nutrisi dan fleksibilitas waktu penyediaan.
Kerapuhan MBG terletak pada potensi duplikasi dan tumpang tindih dengan kerangka penanganan stunting yang diatur oleh Perpres 72/2021 (PPS). Perpres ini mengamanatkan upaya penurunan stunting harus dilaksanakan secara holistik, integratif, dan konvergen (HIK). Jika MBG, yang semestinya menjadi Intervensi Sensitif di bawah payung PPS, dilaksanakan secara sentralistik dan paralel, hal ini akan menggagalkan prinsip konvergensi. Kondisi ini menciptakan fragmentasi manajemen dan duplikasi anggaran triliunan Rupiah dengan program yang sudah dijalankan Puskesmas dan BKKBN. Hingga kini Nasib penyesuainnya tak begitu jelas.

*Kerapuhan Implementasi*
Kritik terhadap kerapuhan program ini bukan lagi sekadar wacana, melainkan telah menjadi bencana kemanusiaan. Bahkan banyak pihak yang mengusulkan program ini di hentikan.

Dalam tulisan saya di platform Medium pada 13 Februari 2025, dengan judul “Pancasila dalam Menu Makan Bergizi Gratis”, saya sempat menaruh harapan filosofis agar program ini dijiwai nilai-nilai Pancasila—melibatkan kearifan lokal. Selang beberapa bulan, pada 6 Mei 2025 saya mengeluarkan “peringatan” keras dalam artikel “MBG 99,9 persen Berhasil? Presiden Jangan Cuma Main Angka Dong!” merespon pernyataan Presiden Prabowo atas keraunan manakan MBG yang menimpa anak-anak kala itu.

Sayangnya, peringatan tersebut terbukti nyata. Hingga 4 Oktober 2025, Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) melaporkan bahwa jumlah korban keracunan yang terdampak program MBG telah menembus angka lebih dari 10.482 anak. Lonjakan korban ini menggarisbawahi kegagalan sistemik implementasi program, dengan tiga kelemahan utama terkonfirmasi:

Pertama, fokus keberhasilan yang Menyesatkan: Pemerintah cenderung menekankan persentase keberhasilan yang tinggi, yang secara logis menyesatkan karena mengabaikan keseriusan ribuan korban keracunan. Fokus pada angka non-korban mengaburkan fakta bahwa kasus keracunan merupakan kegagalan mutlak dalam standar keamanan pangan.

Kedua, manajemen program Sentralistik yang Gagal: Sistem sentralisasi melalui Dapur Umum atau Skema Penyediaan Pangan Gabungan (SPPG) terbukti menimbulkan masalah kontrol kualitas dan higienitas yang sulit diawasi dalam skala produksi massal. Kasus keracunan massal menunjukkan kegagalan manajemen rantai pasok dan kontrol higienitas di dapur terpusat.

Ketiga, indikator gizi yang lemah, keberhasilan program tidak diukur dengan data dampak gizi nyata, seperti data longitudinal penurunan stunting, tetapi hanya dari pelaksanaan proyek. Tanpa audit gizi yang kuat, program berisiko hanya menjadi proyek bagi-bagi makanan tanpa jaminan mencapai tujuan utamanya: peningkatan status gizi.

Solusi Lingkaran Komunitas MBG

Jika program MBG akan dilanjutkan, cara paling tepat untuk mengatasi masalah sistemik ini adalah dengan melakukan pergeseran radikal dari sistem sentralisasi yang rawan masalah ke model desentralisasi berbasis akuntabilitas komunitas, yang bertujuan mengintegrasikan akuntabilitas dan kearifan lokal. Model ini menggantikan sistem sentralisasi Dapur Umum/SPPG yang terbukti rawan keracunan dengan desentralisasi produksi makanan di tingkat sekolah atau komunitas terdekat, mengalirkan dana secara langsung ke rekening komunitas, dan menciptakan pengawasan berlapis. Dalam model ini, Wali Murid berperan sebagai penyedia dan pengawas moral, didukung oleh Puskesmas/Pengawas Gizi untuk audit teknis, serta PKK, Dasa Wisma, dan Posyandu untuk kontrol sosial dan edukasi, sehingga program tidak lagi menjadi proyek kontraktor besar, melainkan inisiatif berkelanjutan yang menjamin keselamatan, gizi yang tepat, dan memberdayakan ekonomi lokal dalam bentuk koperasi.

Model ini yang disebut Model Lingkaran Komunitas MBG (MBG Community Circle) yaitu solusi desentralisasi radikal terhadap kerapuhan Program Makan Bergizi Gratis. Model ini meliputi aspek-aspek berikut :

1. Perubahan Struktur dan Alur Dana.

Model ini mengusulkan dua perubahan struktural utama: Pertama, Dapur Didesentralisasi. Dapur umum atau SPPG ditiadakan; produksi makanan dilakukan oleh komunitas wali murid atau kantin sekolah yang terbukti layak di tingkat masing-masing sekolah/gabungan sekolah terdekat. Langkah ini secara langsung memutus rantai risiko produksi massal dan memastikan skala produksi kecil yang mampu diawasi ketat. Kedua, Dana Langsung ke Komunitas. Dana MBG dialirkan langsung ke rekening komunitas yang bertanggung jawab di tingkat sekolah/teritori. Ini akan memangkas birokrasi dan menjamin dana digunakan untuk membeli bahan pangan lokal yang segar, sekaligus memberdayakan ekonomi grassroot.

2. Fungsi Kontrol dan Akuntabilitas.

Model ini menciptakan sistem kontrol dan pengawasan berlapis yang melekat pada tanggung jawab moral dan keahlian lokal: Wali Murid berperan sebagai penyedia dan penerima manfaat, menciptakan akuntabilitas moral dan langsung yang memastikan makanan dibuat dengan standar terbaik demi keselamatan anak mereka sendiri. Sementara itu, Puskesmas/Pengawas Gizi bertanggung jawab untuk melakukan audit gizi dan sanitasi (HSM) secara periodik, memastikan menu sesuai standar gizi. Fungsi ini didukung oleh PKK, Dasa Wisma, dan Posyandu yang berperan dalam mobilisasi sumber daya ibu-ibu, edukasi gizi dasar, dan pemantauan kesehatan anak pasca-konsumsi, menjamin check and balance sosial dari warga terdekat.

3. Memperkuat Nilai Pancasila Melalui Tindakan Nyata

Solusi Lingkaran Komunitas MBG bukan hanya solusi manajerial, tetapi juga solusi filosofis yang mengembalikan program pada idealisme Pancasila: Gotong Royong dan Kerukunan Warga dipupuk melalui pelibatan kolektif. Tenggang Rasa dan Kemanusiaan ditumbuhkan karena makanan disiapkan dengan kesadaran penuh demi keselamatan anak sendiri dan tetangga. Terakhir, Keadilan Sosial terwujud melalui pemberdayaan UMKM koperasi-koperasi lokal dan pengalihan dana ke komunitas, memastikan manfaat ekonomi dan gizi yang adil.

Hanya dengan memberi kepercayaan pada komunitas lokal untuk berpartisipasi mengelola secara langsung, program tidak lagi menjadi proyek politik yang rawan kecelakaan, melainkan menjadi program gizi berbasis komunitas yang berkelanjutan, terjamin keamanannya, dan menjadi manifestasi nyata nilai-nilai Pancasila.

Penulis adalah aktivis PRD dan Analis Kedai Ide Pancasila