Oleh Achmad Nur Hidayat, Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta, CEO NARASI INSTITUTE

Uji emisi yang sejatinya memiliki niat mulia sebagai upaya mengurangi polusi udara di Jakarta, kini telah menjadi panggung ketidakadilan.

Ketika publik kecil harus merogoh kocek hingga Rp250 ribu untuk motor dan Rp500 ribu untuk mobil akibat tidak lolos uji emisi, sementara pemilik truk, kontainer, dan pemilik proyek konstruksi serta infrastruktur Pemda, yang memiliki kontribusi signifikan terhadap polusi udara, seolah mendapatkan “perlindungan” dan terhindar dari tindakan tegas, inilah yang kita sebut ketidakseimbangan.

Kasus Dody mengekspos betapa absurdnya implementasi kebijakan ini. Publik seperti Dody, yang dengan niat baik mengikuti uji emisi, malah mendapatkan hukuman, sedangkan armada besar yang setiap hari menyumbang polusi berat tampak bebas melenggang. Ironisnya, masyarakat kecil diberatkan dengan denda, sementara pemilik truk dan kontainer besar, serta pemilik proyek konstruksi, tampaknya mendapat ‘perlakuan khusus’ dari pemerintah.

Bukan hanya masalah kendaraan, konstruksi di Jakarta yang kerap menghasilkan debu dan emisi lainnya juga tampaknya mendapat ‘perlakuan khusus’.

Seharusnya, sebelum menilang warga biasa dengan denda besar, pemerintah memastikan bahwa mereka yang benar-benar menjadi sumber utama polusi udara mendapatkan hukuman yang setimpal.

Pemerintah harus memperbaiki sistem dan fokus pada sumber polusi utama. Sebelum memberlakukan sanksi, edukasi publik harus ditingkatkan.

Kita membutuhkan aksi nyata, bukan hanya simbolis. Keadilan harus menjadi prioritas utama dalam setiap kebijakan yang diterapkan.

Menghadapi masalah polusi udara di Jakarta memang tidak mudah, namun dengan kebijakan yang adil dan bijaksana, kita bisa melangkah maju menuju Jakarta yang lebih hijau dan sehat.

Namun, sebelum itu, pemerintah harus memastikan bahwa keadilan ditegakkan dengan menindak tegas setiap pelanggar, tanpa memandang besar kecilnya kontributor polusi.

Temukan juga kami di Google News.