Sangat disayangkan sikap kerdil KPK yang belum apa-apa sudah mengaku sebagai suatu kekhilafan ketika 2 (dua) anggota TNI tertangkap tangan dalam OTT KPK tanggal 25 Juli 2023, terkait dugaan suap menyuap dalam proyek pengadaan barang dan jasa di Basarnas.
Pengakuan sebagai kekhilafan dan meminta maaf kepada Pimpinan PUSPOM TNI sebagai sikap kerdil dan pengecut bahkan dicap sebagai ayam sayur ketika menghadapi intervensi kekuasaan secara sewenang -wenang dari PUSPOM TNI terhadap KPK dalam melaksanakan tugas.
Sikap PUSPOM TNI secara kelembagaan meminta KPK menyerahkan proses hukum terhadap 2 (dua) anggota TNI yang terkena OTT, sebagai bentuk intervensi kekuasaan yang merobek-robek independensi KPK dalam menjalankan tugas Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi.
Alasannya, karena apa yang diduga dilakukan oleh 2 (dua) oknum TNI hingga kena OTT KPK itu harus dipandang sebagai tindakan pribadi, untuk kepentingan pribadi dan orang lain dan bukan untuk dan atas nama serta kepentingan Institusi TNI. Malah memberi kesan seolah-olah uang hasil korupsi itu mengalir ke institusi TNI sehingga PUSPOM TNI berkentingan mengambil alih.

TANGGUNG JAWAB PRIBADI.
Dengan demikian, pertanggungjawaban pidana yang diminta oleh KPK terhadap kedua oknum TNI yang terkena OTT KPK-pun ditujukan kepada dan bersifat pertangungjawaban pribadi ke dua oknum TNI dimaksud, bukan tanggung jawab Institusi TNI.
Jika PUSPOM TNI ingin membela anak buahnya yang terlibat tindak pidana, maka hal itu hanya boleh dilakukan dengan membentuk tim Penasehat Hukum dan melakukan pembelaan melalui upaya hukum ke Praperadilan atau Gugatan ke Pengadilan sesuai ketentuan pasal 63 UU KPK.
Sikap PUSPOM TNI datang ke KPK hendak menarik perkara kedua anak buahnya yang terkena OTT KPK untuk ditangani sendiri, hal itu cerminan dari arogansi kekuasaan, ada keinginan untuk menumbuhkan sikap kebal hukum di kalangan prajurit TNI ketika berhadapan dengan kasus hukum dengan masyarakat sipil.
Jika TNI ingin menggunakan hukumnya sendiri, untuk mengurus sendiri anak buahnya, maka ubahlah dulu hukumnya melalui proses legislasi di DPR bukan dengan cara “show of force” PUSPOM TNI ke KPK untuk menarik tersangka dan berkasnya guna melakukan penyelidikan sendiri, seperti halnya dalam kasus OTT KPK kali ini.
PERBEDAAN PARADIGMA
Publik melihat ada sikap yang beda dari PUSPOM TNI, ketika menghadapi OTT KPK kali ini. Nampak ada ambisi, semangat dan gejala di mana TNI hendak mencoba kembali ke jati dirinya sebagai sebuah kekuatan sosial politik yang kebal hukum, sebagaimana TNI di era Orde Baru, yaitu TNI yang anti Demokrasi dan/atau TNI yang dicitrakan sebagai Kebal Hukum.
Karena itu sikap PUSPOM TNI dalam menghadapi anggotanya yang kena OTT KPK, ini merupakan sebuah paradigma baru sebagai “show of force” PUSPOM TNI ingin kembali pada kejayaan TNI di era Orde Baru, mengikuti trend saat ini di mana kroni-kroni Orde Baru sedang konsolidasi guna memberikan dukungan pada Prabowo Subianto sebagai bakal Capres 2024 untuk kembalikan kejayaan Orde Baru.
Padahal posisi KPK sebagai lembaga yang independen, meskipun ia dinyatakan menjadi bagian dari rumpun kekuasaan eksekutif, hasil revisi UU KPK akan tetapi KPK tidak boleh dilihat sebagai sebuah lembaga yang beroposisi pada PUSPOM TNI ketika terjadi OTT terhadap anggota TNI sehingga TNI ingin mau menghadapi dengan cara mengintervensi.
Sebagai hasil OTT siapapun dia, KPK punya kewenangan penuh untuk menetapkan status tersangka dan menahan siapapun ketika tertangkap tangan melakukan korupsi, karena pada saat OTT terjadi, pelaku dan barang bukti sama-sama ditemukan secara terang benderang di TKP, apalagi perkara suap, maka pelaku pemberi suap dan penerima suap sama -sama berada di TKP, ditangkap dan ditahan.
KPK berada pada landasan hukum yang sangat kuat, terlebih-lebih di dalam sejumlah ketentuan UU yaitu pasal 65 UU No.34 tahun 2004 Tentang TNI, dikatakan bahwa “Prajurit tunduk pada kekuasan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan unum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur dengan UU. Begitu pula di dalam pasal 24 UU Kekuasaan Kehakiman dan pasal 63 UU KPK.
Dengan mekanisme OTT KPK, maka tanpa proses penyelidikan lagi KPK setelah 1 x 24 jam, berwenang menetapkan siapa saja yang jadi Tersangka dan apa saja barang buktinya, lalau melakukan penahanan dstnya, termasuk mengkoordinasikan pembentukan tim koneksitas, jika dianggap perlu.
PENGGUNAAN PASAL 63 UU KPK.
Dalam penentuan status tersangka oleh KPK, manakala terdapat pihak yang merasa dirugikan sebagai akibat penyelidikan, penyidikan dan penuntutan yang dilakukan oleh KPK, secara bertentangan dengan UU atau hukum yang berlaku, maka orang ybs dapat mengajukan gugatan rehabilitasi, konpensasi dan Praperadilan.
Harus dicermati di sini bahwa Hukum Acara bagi KPK diatur oleh KUHAP, UU KPK, UU Tipikor dan oleh UU No. 46 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman terkait penggunaan tim koneksitas.
Terdapat alasan kuat bagi KPK tidak perlu mengaku khilaf dan meminta maaf dan tidak ada alasan kuat bagi pimpinan PUSPOM TNI menarik perkara OTT KPK dalam kasus dugaan korupsi, suap tanggal 25 Juli 2923, yang menyebabkan 2 (dua) pejabat tinggi di Basarnas, masing-masing Marsdya Henri Alfiandi dan Letkol Adm. Afri Budi Cahyanto yang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK.
Ke 8 (delapan) alasan itu sbb. :
1. OTT KPK terhadap Kabasarnas Marsdya Henri Alfiandi dan Koorsim Kabasarnas Letkol Afri Budi Cahyanto bukan perkara antar KPK dengan TNI tetapi antar KPK dengan oknum TNI yang diduga melakukan tindak pidana korupsi lewat OTT KPK.
2. Perkara dugaan korupsi suap yang melibatkan oknum Kabasarnas dan Koorsim Kabasarnas adalah perkara OTT yang seketika itu juga KPK dapat menetapkan siapa2 saja tersangka pelakunya, bukan perkara yang diproses secara biasa melalui mekanisme penyelidikan lalu naik ke tahap penyidikan.
3. Peradilan Militer tidak memiliki Peradilan Tipikor sebagai Peradilan Khusus sebagaimana di Pengadilan Negeri di setiap Kota Provinsi yang dibentuk Pengadilan khusus Tipikor. Sedangkan Peradilan Militer tidak punya Peradilan Tipikor.
4. Kerugian Negara dalam Tipikor di Basarnas adalah kerugian keuangan negara untuk kepentingan umum bukan kerugian spesifik yang merugikan kepentingan TNI.
5. Di dalam pasal 89-94 KUHAP, pasal 24 UU Kekuasaan Kehakiman maupun di dalam UU KPK soal tindak pidana yang dilakukan secara bersama antara anggota TNI dan Sipil diproses melalui mekanisme penyidikan oleh Tim Koneksitas, yang pembentukannya memerlukan waktu.
6. UU KPK sebagai Lex Specialis derogate Lex Generalis dari KUHAP dan KUHAPM, karena itu meskipun anggota TNI terlibat pidana korupsi maka kewenangan penyidikan tetap berada di tangan KPK, meskipun ada koordinasi antar KPK dan Puspom TNI atau melalui Tim Koneksitas.
7. Dalam pasal 42 UU KPK disebutkan bahwa KPK berwenang mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama melalui peradilan koneksitas atau membentuk Tim Koneksitas.
8. Pengadilan Tipikor menurut pasal 5 UU No. 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tipikor, menyatakan bawah Pengadilan Tipikor merupakan satu satunya Pengadilan yang berwenang memeriksa, mengadili dan memutus perkara tindak pidana korupsi (artinya tidak ada pengadilan Tipikor pada Pengadilan Militer dan tidak ada Hakim Militer pada Pengadilan Tipikor).
Karena itu salah besar bagi KPK menyatakan khilaf lalu minta maaf ke Pimpinan TNI dan bagi TNI ini merupakan kesewenang-wenangan kalau Pimpinan PUSPOM TNI mengambilalih penyelidikan dan penyidikan hingga penuntutan tipikor teradap 2 anggota TNI menjadi tersangka korupsi di Basarnas.
PETRUS SELESTINUS, KOORDINATOR TPDI & ADVOKAT PEREKAT NUSANTARA
Tinggalkan Balasan