JAKARTA – Mantan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Yudi Purnomo mengapresiasi langkah yang dilakukan penyelidik dan penyidik KPK yang terlibat dalam operasi tangkap tangan (OTT) terhadap pejabat dan Kepala Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas).

Menurut Yudi, adanya OTT terkait proyek pengadaan di Basarnas mampu untuk membuktikan efektivitas OTT dalam membongkar kasus korupsi.

“Tanpa OTT memang akan sangat sulit membongkar praktek suap menyuap antara vendor dengan penyelenggara negara. Sebab mereka melakukan korupsi dengan cara tersembunyi, hanya melibatkan sedikit orang, menggunakan uang tunai, tidak langsung diterima oleh atasannya. Bahkan menggunakan kode kode unik untuk menerima suap,” kata Yudi kepada wartawan, Jumat (28/7).

Yudi juga menyebut, adanya OTT di Basarnas merupakan bukti nyata manfaat operasi senyap, dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi. Sebab pelakunya yang terlibat ada, barang buktinya berupa uang ada, dan konstruksi perkaranya jelas, terkait dengan kasus suap menyuap dalam pengadaan barang dan jasa.

Yudi mengaku, berpengalaman menangani kasus-kasus OTT di KPK. Karena itu, Ia berharap, dengan adanya OTT ini tidak ada lagi pihak-pihak yang mempermasalahkan OTT. Sebab OTT salah satu instrumen penting untuk memberantas korupsi di Indonesia.

“Selain tentu saja upaya pencegahan berupa perbaikan sistem dan pembangunan integritas para penyelenggara negara agar tidak memiliki mental korup,” tegas Yudi.

Sebelumnya, KPK menetapkan Kabasarnas RI Marsekal Madya Henri Alfiandi sebagai tersangka. Henri menyandang status tersangka setelah KPK menggelar OTT di Jakarta dan Bekasi, pada Selasa (25/7).

KPK menduga, Henry Alfiandi menerima suap sebesar Rp 88,3 miliar. Suap itu diterima Henry melalui anak buahnya Koorsmin Kabasarnas RI, Afri Budi Cahyanto (ABC) selama periode 2021-2023.

Henri menyandang status tersangka bersama Koorsmin Kabasarnas RI, Letkol Adm Afri Budi Cahyanto (ABC); Komisaris Utama PT. Multi Gtafika Cipta Sejati, Mulsunadi Gunawan (MG); Direktur Utama PT. Intertekno Grafika Sejati, Marilya (MR); Direktur Utama PT. Kindah Abadi Utama, Roni Aidil (RA).

“Dari informasi dan data yang diperoleh tim KPK, diduga HA bersama dan melalui ABC diduga mendapatkan nilai suap dari beberapa proyek di Basarnas tahun 2021 hingga 2023 sekitar Rp 88, 3 miliar, dari berbagai vendor pemenang proyek,” ucap Wakil Ketua KPK Alexander Marwata dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu (26/7).

Alex menjelaskan, semenjak 2021 Basarnas melaksanakan beberapa tender proyek pekerjaan yang diumumkan melalui LPSE, yang dapat diakses umum. Bahkan, pada 2023 Basarnas kembali membuka tender sejumlah proyek pekerjaan.

Pertama, pengadaan peralatan pendeteksi korban reruntuhan dengan nilai kontrak Rp 9,9 miliar. Kedua, pengadaan Public Safety Diving Equipment dengan nilai kontrak Rp 17, 4 miliar. Ketiga, pengadaan ROV untuk KN SAR Ganesha (Multiyears 2023-2024) dengan nilai kontrak Rp 89,9 miliar.

Menurut Alex, agar tiga proyek tersebut dapat dimenangkan, pihak swasta dalam hal ini Mulsunadi Gunawan, Marilya dan Roni Aidil melakukan pendekatan secara personal, dengan menemui langsung Kabasarnas Henri Alfiandi dan Afri Budi Cahyanto selaku Koorsmin Kepala Basarnas merangkap Asisten sekaligus orang kepercayaan Henry.

“Dalam pertemuan ini, diduga terjadi deal pemberian sejumlah uang berupa fee sebesar 10 persen dari nilai kontrak,” ucap Alex.

Alex menyebut, penentuan besaran fee itu diduga ditentukan langsung oleh Henry. Oleh karena itu, Henry siap mengondisikan dan menunjuk perusahaan Mulsunadi dan Marilya sebagai pemenang tender untuk proyek pengadaan peralatan pendeteksi korban reruntuhan tahun anggaran 2023.

“Sedangkan perusahaan Roni menjadi pemenang tender untuk proyek pengadaan Public Safety Diving Equipment dan pengadaan ROV untuk KN SAR Ganesha (Multiyears 2023-2024),” papar Alex.

Alex memastikan, KPK akan terus melakukan pendalaman lebih lanjut atas dugaan penerimaan suap oleh Henri itu. Dalam melakukan pendalaman, akan dilakukan oleh tim gabungan penyidik KPK serta Puspom Mabes TNI.

Adapun untuk proses hukum terhadap Henri dan Afri akan diserahkan ke pihak TNI. Langkah ini dilakukan mengacu ketentuan yang berlaku.

“Terhadap dua orang tersangka HA dan ABC yang diduga sebagai penerima suap penegakan hukumnya diserahkan kepada Puspom Mabes TNI untuk proses hukum lebih lanjut yang akan diselesaikan oleh tim gabungan penyidik KPK dan tim penyidik Puspom Mabes TNI sebagaimana kewenangan yang diatur di dalam undang-undang,” tegas Alex.

Sementara Mulsunadi Gunawan, Marilya dan Roni Aidil sebagai pihak pemberi disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.

Temukan juga kami di Google News.