Jakarta – Turunnya CPI atau Corruption Perception Index yang telah dirilis Transparency International dinilai Lembaga Studi Anti Korupsi (LSAK) agar menjadi perhatian dan tanggung jawab bersama. Namun, Ahmad Aron Hariri, Ketua LSAK mengungkap bahwa tidak perlu tergopoh-gopoh dan bersikap inlander menyikapi hal tersebut.

Ia juga menyoroti faktor-faktor yang dinilai, seperti sektor pelayanan publik, perijinan usaha, kepastian hukum, iklim ivestasi , democracy, law enforcement, political, dll, menunjukkan banyak stakeholder yang bertanggungjawab dan punya peran signifikan terhadap CPI.

“Aneh kalau berdasarkan CPI tetiba ada yang hanya menyudutkan negatif lembaga penegakan hukum.” tegas Rere, sapaan akrab Hariri, hari ini (3/2/2023).

Ia mengingatkan soal CPI terendah yang juga pernah terjadi di tahun 2012, dengan nilai lebih rendah pada saat ini, sebesar 32 point.

“Waktu itu nggak ada yang ribut termasuk Novel, diam aja. Pimpinan BW, AS kemana. Saat tahun 2012 kemana mereka?” ujarnya.

Rere juga menyoroti persoalan korupsi seperti pungli di pelayanan publik yang masih marak. Tambang illegal masih menjamur, suap perijinan masih banyak, urus izin usaha masih ada suap.

“Termasuk modus kelebihan bayar di DKI Jakarta. Itu kan korupsi. Harusnya itu bagian dari tanggungjawab bersama dalam pemberantasan korupsi sehingga CPI kita baik.” bebernya.

Ia juga meminta agar KPK mengungkap segala tindak pidana korupsi termasuk Kasus Formula E. Rere juga menyinggung soal langkah perbaikan dan terobosan kebijakan dengan mendorong RUU perampasan aset koruptor.

“Jadi kalau betul-betul murni ingin pemberantasan korupsi, seharusnya dukung KPK mengungkap segala tipikor, termasuk kasus Formula E. Jangan malah selama ini malah melindungi.” tandasnya.

“CPI kan sebagai salah satu indikator pemberantasan korupsi, menjadi bahan evaluasi bersama. Jadi langkah perbaikan dan terobosan kebijakan harus ada skala prioritas, seperti pengesahan RUU perampasan aset koruptor.” pungkas dia.

Temukan juga kami di Google News.