Jakarta – Pengamat Intelijen dan Keamanan Stanislaus Riyanta memastikan kejadian teror wanita bercadar bersenjata yang menerobos Istana Negara tidak ada unsur rekayasa seperti yang dituduhkan oleh kelompok eks HTI.

“Saya yakin tidak ada rekayasa seperti yang dituduhkan.” tegas Stanislaus, hari ini (26/10/2022).

Seperti yang diberitakan sebelumnya, seorang perempuan yang diketahui bernama Siti Elina (24), warga Koja Jakarta Utara diketahui hendak menerobos Istana Presiden pada Selasa 25/10/2022. Perempuan tersebut diketahui membawa senjata api jenis FN, yang sempat ditodongkan ke Paspampres yang berjaga.

Kejadian tersebut memicu berbagai tanggapan dari publik, dan tidak sedikit publik yang menyebut bahwa aksi tersebut adalah lone wolf terror. Dalam terminologi terorisme, lone wolf terror adalah aksi teror yang dilakukan oleh seseorang (pelaku tunggal) tanpa bantuan orang lain termasuk dalam perencanaan maupun aksinya, meskipun dimungkinkan bahwa aksi tersebut diinspirasi oleh orang atau kelompok tertentu.

“Melihat pelaku menggunakan senjata api sejenis FN, maka kecil kemungkinan bahwa pelaku adalah lone wolf. Sangat kecil kemungkinan pelaku mendapatkan senjata tersebut dengan usaha sendiri, artinya ada pihak lain yang menyediakan senjata untuk pelaku, sehingga istilah lone wolf tidak tepat disematkan dalam kejadian tersebut.” ungkap Stanislaus.

Stanislaus juga meminta publik tak terburu-buru menilai kasus tersebut sebagai lone wolf terror. Hal ini akan menegasikan peran kelompok atau aktor tertentu yang kemungkinan menjadi penyedia senjata atau bahkan berperan sebagai pengendali dari pelaku tersebut.

“Sangat penting dalam penanggulangan terorisme untuk mengungkap jaringan sehingga bisa dilakukan pencegahan terhadap aksi berikutnya. Juga mencermati peran perempuan dalam aksi terror.” beber Stanislaus.

Stanislaus mencontohkan kelompok yang diikuti oleh banyak orang dan melibatkan perempuan untuk melakukan aksi teror adalah ISIS. Di Indonesia beberapa kelompok berafiliasi dengan ISIS seperti JAD dan MIT.

” Banyak aksi-aksi teror yang dilakukan perempuan antara lain rencana meledakkan bom panci di Istana Negara (11/12/2016), teror di Mako Brimob Depok (12/5/2018) , penerobosan Mabes Polri dengan senjata airgun (31/3/2021), dan terakhir kejadian kemarin. Jadi harus lebih dicermati karena mereka berhasil masuk dalam instalasi vital seperti Mabes Polri dan mendekati Istana Negara.” jelas Stanis

Stanislaus menekankan pentingnya kewaspadaan lebih kuat untuk mencegah aksi teror terutama yang dilakukan oleh pelaku tunggal, termasuk yang dilakukan oleh perempuan, dan yang dilakukan oleh sel atau kelompok kecil keluarga. Karena akan sulit dideteksi sebab minim komunikasi dengan pihak lain sehingga tidak terpantau oleh aparat.

“Terutama karena Indonesia akan menyelenggarakan perhelatan besar G20, yang tentu saja daya tariknya sangat besar terutama untuk menunjukkan eksistensi kelompok-kelompok teroris yang sudah semakin terdesak oleh aparat keamanan. Hal ini harus mendapat perhatian serius.” pungkasnya.

Temukan juga kami di Google News.