Jakarta – Fenomena praktik pungutan liar (pungli) kembali menyeruak dan menjadi perbincangan hangat masyarakat luas. Lebih-lebih, setelah polisi melakukan operasi tangkap tangan (OTT) pelaku pungli untuk pengurusan buku pelaut dan surat kapal di Kantor kementrian Perhubungan (Kemenhub), Selasa (11/10) lalu.
Pakar Hukum Dr Zainal Arifin Mochtar mengaku praktek pungli ternyata sudah ada sejak zaman republik ini berdiri, namun pungli ini bukanlah bagian dari budaya.
“Ini menjadi tradisi dan cara pungli ini berharap sesuatu. Tapi pungli bukan bagian dari budaya,” ungkap Zainal saat diskusi bertema ‘Membedah Pola Korupsi dan Pungli di Birokrasi; Modus dan Solusinya’ di Kantor LAN Jakarta, Selasa (18/10/2016).
Lebih lanjut, Direktur Pusat Studi Anti Korupsi UGM Yogyakarta itu pun membandingkan antara pemberantasan korupsi dengan pemberantasan pungli. Jika dari segi waktunya, bicara pemberantasan korupsi memerlukan waktu yang cukup lama, sementara pemberantasan pungli bisa dilakukan dengan cepat dan bisa dirasakan.
“Tapi pungli tidak akan bisa diselesaikan sekali saja, sebab berbagai sektor bidang banyak melakukan pungli,” ujar dia.
Zainal berpesan untuk membenahi praktek pungli bukan dari aparat kepolisian atau lembaga pemerintah tapi harus dari pragmatisme nya para pengusaha yang mempunyai kepentingan.
“Selesaikan pungli nya, dengan selesaikan pragmatis pengusahanya. Jika dari sektor ekonomi dan distribusinya mahal maka pengusaha sudah menyiapkan pungli agar harga distribusinya bisa ditekan,” tutur dia.
Lebih jauh, Zainal mengingatkan agar tidak terlalu mengharapkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena akan sangat terbatas kemampuannya dalam mengontrol praktek pungli didaerah. Kata dia, lebih baik kepolisian wilayah sektor yang harus dimanfaatkan untuk mengontrolnya.
“Kalau memberantas pungli dengan mendirikan KPK didaerah kurang efektif dan butuh waktu lama, lebih baik menggunakan fasilitas yang ada seperti pemanfaatan kepolisian wilayah sektor,” tandasnya.
Tinggalkan Balasan