Jakarta – Peneliti Senior Indonesia Public Institute (IPI), Karyono Wibowo menilai di dalam pertarungan politik seperti Pilkada dan Pilpres apalagi pemilihan secara langsung, bagi peserta pemilu akan berlomba-lomba membuat manajemen konflik dan manajemen isu untuk menjalankan strategi pemenangan.
“Sehingga semuanya digunakan untuk memenangkan Pilkada. Ini yang sering kali terjadi dan sulit dihindarkan,” ungkap Karyono Wibowo, Senin (17/10/2016).
Tetapi, kata pengamat politik ini, ketika memasuki pertarungan politik, beberapa hal yang diharamkan dalam Pilkada bisa dihalalkan. Ini karena dorongan untuk memenangkan memperebutkan Kursi No. 1 dan 2 didaerahnya. Kata dia, Nilah yang menjadi penting bahwa ada pengawasan agar nilai-nilai demokrasi dan pelanggaran-pelanggaran pilkada tidak dilakukan.
Karyono pun menyebutkan didalam pertarungan modern, ada 3 jenis kampanye yakni kampanye positif, negatif, dan hitam. Dan yang boleh dimainkan adalah kampanye positif dan negatif.
“Kampanye negatif boleh dilakukan dalam konteks politik, tapi yang justru tidak boleh itu adalah black campaign,” tuturnya.
Dijelaskan dia, jika para peserta mengedepankan positif campaign, mereka bisa saling puji. Tapi dalam praktiknya dianggap kurang dinamis. Sementara bumbu-bumbu demokrasi biasanya tetap ada yang saling menyerang. Untuk negatif campaign adalah menyampaikan pesan kampanye yang menampilkan sisi negatif lawan, akan tetapi disertai dengan fakta dan data.
“Kenapa itu boleh, karena masyarakat butuh diberikan pemahaman, baik dari segi positifnya maupun negatifnya. publik nanti yang akan menilai apakah sosok itu layak untuk dipilih atau tidak,” sebut dia.
Adu Kekuatan, Asal Damai
Masih kata Karyono, namun hal itu saat ini menjadi samar mana black campaign dan mana yang negatif campaign. Apalagi ada masyarakatnya yang dinilai mudah dipengaruhi. Dia pun mencontohkan kasus yang sedang hangat-hangatnya terjadi di DKI. Semisal kasus sumber waras yang dituduhkan ke calon petahana Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) apakah ini fakta atau rekayasa fakta. Secara perspektif hukum, kata Karyono, kasus ini belum menjadi fakta. Dan ‎sekarang yang lagi panas adalah tuduhan penistaan ayat suci Al Quran dimana Ahok mengutip surat Al Maidah ayat 51.
“Ini fakta atau rekayasa fakta. Tapi saat ini memang sedang didorong untuk diproses secara hukum. Tapi dari kompetitor Ahok mampu menyakinkan publik, apa yang dilakukan oleh Ahok dan ditudukan pada Ahok benar, ini bisa jadi fakta. Tapi dari versi Ahok menunjukkan bukti dan argumen jika Ahok tidak melakukan penghinaan pada Al Quran, dan memang saat ini sedang menjadi perdebatan publik,” paparnya.
“Bagaimana cara rekayasa fakta, yakni dengan melakukan editing, pemenggalan video, ketika masyarakat tidak mencari second opinion, maka seakan-akan ini menjadi fakta. Tegantung sekarang ini adu kekuatan, mana yang menang dan mana yang kalah. Yang paling penting adalah pilkada 2017 dapat berjalan dengan tertib, aman, damai dan berjalan sesuai dengan norma-norma yang berlaku,” tandasnya.
Tinggalkan Balasan