Oleh: Achmad Nur Hidayat (Pakar Kebijakan Publik dan CEO Narasi Institute)

Sanksi keuangan terhadap Rusia oleh AS dan Uni Eropa berakhir dengan kemenangan di pihak Rusia.

Kini, Rusia tidak perlu lagi mata uang internasional seperti Dollar dan Euro untuk melakukan perdagangan gas dan minyaknya.

Diketahui, karena sanksi keuangan dimana Rusia tidak bisa menggunakan mata uang internasional berujung naiknya harga gas di kawasan Uni Eropa.

Kenaikan gas meningkat lebih tajam lagi menjadi naik 24 persen setelah Rusia berencana menghentikan aliran gas ke Polandia dan Bulgaria karena menolak permintaan Presiden Vladimir Putin untuk pembayaran menggunakan rubel.

Akhirnya pembeli gas Eropa mengalah, tercatat pada Kamis 28/4, ada Empat pembeli gas Eropa telah membayar Rusia dalam rubel untuk pasokan, melawan desakan UE dalam pertikaian energi.

Bloomberg menyampaikan ada 10 (sepuluh) perusahaan Eropa dilaporkan telah membuka rekening di Gazprombank Rusia dan bersedia membayar Gas dengan Rubel, Mata uang Rusia.

Penghentian pasokan gas ke Polandia dan Bulgaria oleh Rusia pada hari Rabu 27/4, mendorong lonjakan harga gas Eropa sebesar 28%.

Gazprom, Perusahaan Gas Rusia mengatakan alasan penghentian adalah karena kedua negara tidak membayar pasokan dalam rubel, perintah yang diajukan Presiden Vladimir Putin bulan lalu.

Laporan itu tidak menyebutkan empat pembeli Eropa mana yang telah melakukan pembayaran rubel. Tetapi Austria, yang mendapatkan 80% gasnya dari Rusia, mengatakan pada hari Rabu bahwa pengiriman terus berlanjut tanpa batas, menurut Reuters.

Di bawah mekanisme pembayaran gas Rusia disebutkan bahwa persyaratan bagi perusahaan yang ingin menerima gas Rusia adalah pembeli harus membuka rekening khusus di Gazprombank. Ini akan memungkinkan mata uang asing dikonversi ke rubel untuk penyelesaian.

Eropa bergantung pada Rusia untuk sekitar 40% dari pasokan gasnya , tetapi tuntutan Moskow telah mengubah dinamika perdagangan ini.

Setelah Rusia menuntut pembayaran gas dalam rubel, beberapa pemerintah Eropa mengatakan ini akan menjadi pelanggaran kontrak dan akan menghindari sanksi.

Jerman sangat bergantung pada energi Rusia, terutama gas alam yang dikirim langsung melalui jaringan pipa Nord Stream. Bundesbank telah memperingatkan bahwa memotong gas Rusia akan menjerumuskan ekonomi Jerman ke dalam resesi .

Uni Eropa sedang mempertimbangkan embargo energi Rusia, dan mengatakan ingin mengurangi ketergantungannya pada negara itu untuk impor. Para diplomat UE mengatakan sejauh ini Gazprombank telah dibebaskan dari sanksi sehingga impor gas dapat berlanjut, Wall Street Journal melaporkan.

Bank Rusia juga berhasil lolos dari larangan infrastruktur pengiriman pesan keuangan SWIFT, yang bertujuan memutus ekonomi Rusia dari seluruh dunia.

Penjualan Sawit dengan Rupiah Memperkuat Neraca Pembayaran Sekaligus Memperkuar Mata Uang Rupiah

Rusia berhasil melakukan pembayaran dengan mata uang lokalnya. Hal ini seharusnya menginspirasi Indonesia agar menjual Produk Sawit CPO dalam rupiah.

Saat ini, penjualan sawit dilakukan secara internasional menggunakan ringgit. Perdagangan CPO dunia menggunakan ringgit, mata uang malaysia sebenarnya menguntungkan Malaysia.

Penyebab mengapa penentuan harga CPO dunia berada di bawah kendali Malaysia adalah riwayat negara tersebut sudah pernah tercatat dan diakui sebagai produsen sawit dan CPO terbesar di dunia dalam jangka waktu yang cukup lama.

Namun, situasi hari ini sudah berubah. Indonesia menjadi produsen sawit yang terbesar dan layak sekali bila perdagangan dunia untuk CPO menggunakan rupiah.

Penggunaan rupiah untuk perdagangan sawit akan membantu penguatan mata uang rupiah dan dapat memperbaiki defisit neraca pembayaran Indonesia. Indonesia akan untung beberapa kali. Selain aspek keuangan, keuntungan lain adalah Indonesia memiliki kemandirian ekonomi dan keuangan sehingga memiliki softpower di mata internasional yang lebih baik.

Masalahnya, apakah Indonesia cukup pintar untuk transformasi perdagangan sawit dari Ringgit ke Rupiah?

Temukan juga kami di Google News.