Jakarta – Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI) tidak menginginkan kinerja Badan Intelijen Negara (BIN) secara organisasi lemah dalam menjalankan fungsinya di pemerintahan dan negara.

Aktivis HMI Mahyudin Rumata berharap BIN bisa kembali kepada jati diri Intelijen sebagai early warning dan early detection yakni upaya pendeteksi dini.

“Jika BIN kita lemah, maka tidak mungkin juga negara kita ikut hancur,” ungkap Mahyudin saat diskusi bertema ‘Deteksi Dini Intelijen Lemah, Apa Kata Mahasiswa’ di Kedai Kopi Perjoeangan, Menteng Jakarta Pusat, Senin (29/8/2016).

Faktanya, kata Mahyudin, hari ini fenomena kegagalan deteksi dini BIN masih lemah dan kerap kecolongan. Contohnya, kejadian dilaut pembajakan Anak Buah Kapal (ABK) oleh Abu Sayyaf, dan penyebaran virus vaksin palsu.

“Fakta-fakta yang telah terjadi saat ini, memang mengancam keutuhan negara kita. Jadi tidak mungkin Presiden disalahkan. Karena intelijen kita lemah,” terang dia.

Selain itu, sambung Mahyudin, kasus terakhir yakni dwikewarganegaraan Arcandra Tahar saat sebagai Menteri ESDM. Harusnya, kata dia, Presiden Jokowi sudah mendapatkan informasi itu terlebih dulu tanpa menimbulkan kegaduhan.

“BIN itu bisa masuk ke Kementerian-Kementerian, beda dengan Intel Polisi. Kasus Arcandra ini menandakan penyampaian informasi kepada Presiden sangat lemah oleh BIN. Ini aneh dan fakta intelijen kita sangat lemah,” jelasnya.

Mahyudin menambahkan saat ini kerawanan laut, fasilitas laut, hingga banyaknya perusahaan asing yang masuk ke perairan di Indonesia. Ia pun setuju nantinya perlu dibentuk suatu Intelijen Maritim.

“Penting itu, bahwa intelijen maritim bisa menginput informasi berbagai kemaritiman kita. Poros maritim di Indonesia jangan hanya sebatas retorika. Kali ini SBY benar bahwa poros maritim hanya omong kosong,” pungkasnya.

Temukan juga kami di Google News.