Jakarta – Dua hari setelah hari kemerdekaan Republik Indonesia ke 71 tahun, Mahkamah Agung (MA) Republik Indonesia juga memperingati hari jadinya sebagai pemegang kekuasaan kehakiman bersama lembaga peradilan dibawahnya.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Alghiffari Aqsa menyebutkan dalam momentum ini, pihaknya mendesak agar Ketua MA mundur jika memang tidak mampu bersikap tegas untuk mengatasi permasalahan korupsi dan mafia peradilan yang terjadi di lembaganya.
“Kami mendorong MA untuk serius berbenah mereformasi diri dengan menggandeng institusi hukum yang lain dan melibatkan partisipasi publik,” ungkap Alghif, Jumat (19/8/2016).
Menurut Alghif, institusi hukum yang harus terlibat itu adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Ombudsman dan Komisi Yudisial (KY) agar bisa mendorong reformasi total lembaga peradilan untuk melawan mafia peradilan.
“Keterlibatan institusi hukum itu bisa membantu memerangi korupsi peradilan secara sistematik dan menyeluruh,” terang dia.
Sementara itu, Kabid Fairtrial LBH Jakarta, Arif Maulana mengaku praktek buruk lembaga peradilan ini berdampak meluas dan serius pada akses dan terlanggarnya hak masyarakat Indonesia untuk memperoleh keadilan. Oleh karena itu, kata dia, rentetan kasus dan masalah yang terjadi di lembaga peradilan ini harus disikapi serius dan segera.
“Persoalan tersebut tidak boleh dianggap sebagai problem oknum atau personal semata, ini bukti adanya kelemahan mendasar dari sistem yang bekerja di MA dan pengadilan dibawahnya, baik sistem pengawasan, rekrutmen, sistem transparansi dan sistem administrasi putusan dan pembinaan di lembaga pengadilan. Karenanya langkah strategis dan radikal perlu diambil MA,” jelasnya.
Arif melanjutkan, kondisi Peradilan di Indonesia dibawah MA semakin memperihatinkan, reformasi peradilan yang diharapkan masih jalan ditempat karena nyatanya tak membuahkan hasil seperti yang diharapkan. Kekuasaan kehakiman Indonesia masih belum merdeka dari suap, korupsi, kolusi, nepotisme (KKN), maladministrasi dan maladministrasi. Kepercayaan masyarakat terhadap peradilan berada di titik nadir.
Selain itu, kata Arif, Ombudsman Republik Indonesia (ORI) menemukan kondisi dan kinerja lembaga peradilan di bawah MA dipenuhi praktik korupsi. Temuan itu merupakan hasil investigasi ORI dalam upaya perbaikan dan peningkatan kualitas pelayanan publik dan administrasi peradilan di Indonesia. Investigasi ORI berfokus pada pelayanan pendaftaran perkara, jadwal sidang, pemberian salinan dan petikan putusan.
Komisi Yudisial dalam kurun waktu empat bulan pertama tahun 2016, juga telah menerima 488 laporan yang masuk langsung dari masyarakat, termasuk surat tembusan ke KY sebanyak 527 laporan. Jika diakumulasi, ada 1.060 laporan yang masuk.
“Ini menandakan masyarakat masih banyak yang kecewa dengan pelayanan pengadilan,” bebernya.
Arif menambahkan, dalam registrasi penanganan kasus Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), per April 2016 setidaknya ada 27 kasus yang melibatkan aparatur MA. Tujuh panitera dan dua puluh hakim termasuk ketua pengadilan.
“Sayangnya persoalan serius ini sampai detik ini belum mendapatkan respon yang memadai dari Ketua MA sebagai pimpinan lembaga peradilan di Indonesia. Hal ini menunjukkan jika MA tidak melihat persoalan mafia hukum atau korupsi yudisial sebagai sesuatu yang penting untuk segera diselesaikan,” tukasnya.
Tinggalkan Balasan