Jakarta – Menjelang peringatan hari buruh Internasional atau May Day, serikat pekerja atau buruh diminta terbuka untuk diaudit dana-dana yang diterimanya, baik dari donatur asing maupun serotan dari anggotanya.
Desakan itu disampaikan puluhan massa yang menamakan diri Komite Aksi 1 Mei dalam aksi unjuk rasa di Patung Kuda, Jakarta, Jum’at (30/4).
Massa aksi menggelar spanduk bertuliskan “Audit serikat pekerja / buruh yang terima dana asing, Audit Serikat Pekerja / Buruh yang tarik iuran dana anggotanya, Buruh minta naik upah, supaya setoran ke pimpinan serikat buruh naik #Mikir, Buruh tolak korupsi, tapi iuran buruh dikorupsi pimpinan Serikat, diam #Mikir, dan Buruh bikin partai, iuran naik lagi #Mikir”.
Korlap aksi, Haris Purwanto menilai audit terhadap serikat pekerja/buruh perlu dilakukan untuk mengetahui sumber dana dan penggunaanya. Sumber dana itu bisa berasal dan dana asing maupun iuran setoran anggotanya.
“Kita selama ini hanya mendengar ada dana asing yang diterima oleh serikat buruh atau pekerja. Jumlahnya pun sampai milyaran. Dari segi aturan, perlu dicek apakah ini melanggar aturan atau tidak. Yang terpenting, Pemerintah harus mengawasi aliran dana asing yang masuk ke serikat pekerja. Kita khawatir dana asing ini digunakan untuk demo-demo yang tujuannya untuk mengganggu ekonomi Indonesia,” ujar Haris Purwanto.
Dia menegaskan, jika kekhawatirannya itu benar, maka serikat pekerja dengan sadar atau tidak telah menjadi kuda tunggangan kepentingan asing untuk mengacaukan ekonomi Indonesia.
“Massa buruh harus disadarkan telah diperalat pimpinan serikat pekerja,” cetusnya.
Selain dana asing, dia juga menyoroti setoran buruh kepada organisasinya. Dari masukan yang diterimanya dari kalangan buruh menyebutkan, para buruh sebenarnya ingin menanyakan penggunaan dana tersebut, namun tidak berani karena takut akan dikenai sanksi organisasi.
Iuran tersebut dikatakan untuk pembelaan kepentingan buruh jika suatu saat terkena masalah, seperti PHK.
“Namun nyatanya, ketika ada kawan-kawan buruh di PHK, serikat pekerja tidak serius memperjuangkan korban PHK itu untuk mendapatkan hak-haknya. Aksi-aksi solidaritas hanya dilakukan seadanya, terkesan formalitas. Bahkan tak jarang, pimpinan serikat melakukan nego-nego dengan perusahaan, tanpa sepengetahuan kita, dan berakhir begitu saja,” tambah Haris.
Aksi-aksi yang secara rutin dilakukan serikat pekerja, dicurigai sebagai pola ‘pencucian uang’ dari iuran anggota tersebut.
“Bisa saja aksi sengaja dilakukan, sebagai bentuk pertanggungjawaban penggunaan dana yang telah diterima, baik dari asing maupun setoran anggotanya,” tambahnya lagi.
Oleh karena itu, sudah saatnya organisasi serikat pekerja/buruh ini diaudit keuangannya. Agar dana-dana yang diterima dipergunakan untuk kepentingan buruh, bukan diselewengkan oleh pimpinan serikat buruh saja.
“Karena tidak ada audit, dana milyaran yang diterima serikat buruh per bulannya, berpeluang besar diselewengkan para pengurusnya. Massa pekerja/buruh harus berani menuntut keterbukaan penggunaan dana kepada pengurusnya. Jangan sampai massa buruh diajak demo tolak korupsi, sementara pimpinan serikat buruh justru melakukan korupsi dari iuran anggotanya,” pungkasnya.
Permintaan agar serikat pekerja/buruh diaudit sebenarnya bukan barang baru. Gubernur DKI, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, pernah menyampaikan tantangan supaya serikat pekerja yang mendemonya berani diaudit keuangannya. Bukannya menerima tantangan itu, serikat pekerja/buruh justru semakin galak karena menilai Ahok tidak berpihak pada kepentingan buruh.
Tinggalkan Balasan