Jakarta – Ratusan mahasiswa tergabung dalam Pemuda – Pelajar Halmahera Selatan (Halsel) dan PTKP Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Jakarta Pusat Utara (Pusara) berunjuk rasa di depan Istana Negara, Jl. Medan Merdeka Utara Gambir Jakarta Pusat, Kamis (11/8/2016).
Mereka mengadukan Presiden Joko Widodo untuk segera memerintahkan Kejaksaan Tinggi Maluku Utara untuk mengusut tuntas skandal dugaan kasus korupsi secara berjamaah di lakukan oleh oknum pejabat daerah Halmahera Selatan, seperti pada kasus korupsi tiga proyek di antaranya : dana Bansos sebesar Rp. 26 Miliar, KM Halsel Ekspress Rp. 14,5 Miliar dan Spesifikasi Greend Rp. 47 Miliar.
“Kami mendesak Pak Jokowi untuk memerintahkan Kejaksaan Tinggi Malut untuk mengusut tuntas skandal korupsi dengan total anggaran kerugian Negara sebesar Rp. 87,5 M,” tegas Koordinator aksi R. Ranjes Reubun.
Demonstran nampak kesal dengan membakar spanduk lantaran respon lambat yang dilakukan Kejaksaan Agung tak kunjung menyelesaikan dana Bansos yang merugikan negara tersebut. Pasalnya, kasus tersebut nampak sengaja dipetieskan oleh pihak Kejaksaan Tinggi Maluku Utara sehingga mengendap senyap tanpa kabar.
Mereka juga mengingatkan kepada Gubernur Maluku Utara agar tidak intervensi proses terkait penuntasan tiga korupsi berjamaah tersebut. Menurut dia, negara yang memiliki proses politik yang tidak stabil, sistem pemerintahan yang dikembangkan dengan tidak baik, dan rakyat yang miskin terbuka untuk disalahgunakan kaum oportunis menjanjikan pembangunan sumber daya atau infrastruktur dengan cepat.
“Mereka tidak mau bersaing dengan terbuka secara demokratis, mereka hanya membawa janji-janji dan memberikan harapan masa depan yang lebih baik. Cara mereka untuk menjalankan bisnis politiknya adalah merusak negerinya dengan korupsi,” ujar dia.
Oleh karenannya, kata Ranjes, negara sekalipun dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mulai dari UU No.3 tahun 1971 Jo. UU No.31 tahun 1999 Jo. UU No.20 tahun 2001 yang dalam pertimbangan UU tersebut telah menegaskan bahwa “akibat tindak pidana korupsi yang terjadi selama ini selain merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, juga menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut efisiensi tinggi.
“Faktanya korupsi telah mewabah kemana-mana dan telah mengganggu pembangunan nasional. Otonomi Daerah dalam sistem pemerintahan Indonesia yang dijalankan telah memindahkan korupsi yang ada di tingkat pusat ke daerah-daerah yang secara kuantitasnya justru jauh lebih besar dari yang ada di tingkat pusat,” beber dia.
Ranjes menambahkan hal persengkongkolan antara lembaga penegak hukum bersama dengan pemerintahan daerah tersebut menyebabkan keadilan sulit untuk ditegakkan.
“Di sisi lain juga menghambat proses penegakan hukum serta mematikan gerakan perekonomian masyarakat dan kemajuan daerah,” pungkasnya.
Tinggalkan Balasan