Sejumlah Pakar Sepakat Bangsa Indonesia Bakal Krisis Berkelanjutan Imbas Varian Delta COVID19, Harus Ada Perubahan Kebijakan PPKM Darurat.

Bangsa Indonesia bakal krisis berkelanjutan karena COVID19 bila Pemerintah abai dan menjadikannya sampingan.

Demikian peringatan yang disampaikan berbagai pakar dalam diskusi Zoominari Kebijakan Publik Narasi Institute yang dihadiri oleh Guru Besar Ekonomi IPB Prof Didin S Damanhuri, Pengkaji Kebijakan & Inovasi, IPMI Business School dan Research Affiliate Harvard Kennedy School, Sidrotun Naim PhD, Managing Director PEPS Anthony Budiawan, Bursah Zarnudi, Fadhil Hasan Ekonom Senior dan berbagai tokoh lainnya.

Mereka membicarakan pentingnya perubahan penanganan Covid19 baik perubahan kelembagaan, pengorganisasian maupun sikap mental penyelenggara negara.

Untuk menghindari Indonesia menjadi negara terburuk penanganan COVID19 di dunia, Guru Besar Ekonomi IPB Prof Didin S Damanhuri meminta pemerintah membentuk lembaga independen yang khusus menangani Covid-19. Didin meminta adanya lembaga permanen bukan seperti yang ada sekarang ini.

“Saya kira pemerintah harus berani mengambil keputusan lembaga permanen yang independen ini seperti saat menangani bencana Tsunami Aceh dan jangan kemudian bekerja kayak sambilan gitu. Yang terakhir tiga macam ini kayak sambilan. Nyambi Kepala BNPB, BUMN, Menko Marves,” ujar Didin dalam diskusi virtual Narasi Institute bertopik Quo Vadis Tata Kelola Penanganna COVID19, Jumat (9/7/2021).

Didin melihat hingga sejauh ini wewenang penanganan Covid-19 selalu berpindah tangan, mulai dari di bawah kendali Kepala BNPB, Menteri BUMN, hingga Menko Kemaritiman dan Investasi (Marves) sehingga sejauh ini penanganan pandemi di Indonesia tergolong buruk, padahal situasi ancaman kasus sudah sangat mengerikan.

“Karena itu, konsekuensinya harus ada keputusan yang menjawab realitas itu. Jadi, apabila untuk penanganan Covid-19, tidak ada salahnya tersentralisasi kembali. Misalnya kepala daerah jadi subordinasi yang dipimpin langsung oleh presiden,” Ujar Didin dalam diskusi yang dipandu Achmad Nur Hidayat Pendiri Narasi Institute.

Didin juga meminta pemerintah mengesampingkan urusan lain yang tidak relevan dengan penanganan Covid-19, termasuk oligarki bisnis, pemilu 2024, pembangungan infrastruktur, pemindahan ibukota dan sebagainya.

“Semua pihak tidak ingin dirugikan, tapi kan harus ada sebuah institutional building yang kepentingannya nasional, jadi rakyat keseluruhan yang dipikirkan. Tidak lagi kepentingan yang politis. Ini bahaya sudah di depan mata. 5 bulan lalu kita tidak terbayang akan jadi yang tertinggi di dunia, kini kita tertinggi,” Ujar Didin.

Didin menyampaikan seharusnya Indonesia berkaca pada penanganan Covid-19 di Amerika Serikat (AS), sebagai negara yang juga memiliki penduduk besar seperti Indonesia. Tahun lalu, AS merupakan negara tertinggi angka kasus Covid-19. Namun kini, di bawah pemerintahan Joe Biden, AS telah mampu melakukan herd immunity terhadap 80 persen populasi negaranya.

“Ekonomi Amerika sudah positif dan secara gradual sudah nomor 8, bukan yang tertinggi sekarang. Jadi, saya kira Indonesia perlu mengaca pada Biden dala mengambil langkah, karena Amerika sama-sama negara dengan penduduk yang besar,” kata Didin.

Akan tetapi, orang-orang yang akan dibebankan wewenang dalam lembaga tersebut harus dipastikan kredibilitasnya. Bahkan, Didin menambahkan, publik juga harus mengetahui proses penentuan orang-orang yang akan diberikan otoritas lembaga penanganan Covid-19 itu. Karena menurutnya tata kelola penanganan Covid-19 hingga sejauh ini penuh dengan bias dan kepentingan yang masuk dalam berbagai keputusan.

“Di balik itu (penanganan Covid-19), ada bisnis besar menurut investigasi beberapa media. Jadi, ini memang tantangan besar. Karena Indonesia
akan krisis berkelanjutan dengan penyakit ini,” tukasnya.

*CARA KERJA PENANGANAN COVID PEMERINTAH SEPERTI CARA KERJA ORDE LABA*

Anthony Budiawan Managing Director PEPS mengatakan bahwa cara kerja pemerintahan dalam penangganan COVID19 saat ini merupakan pemerintah campuran orde Lama dan orde baru digabung menjadi orde laba.

“Cara pemerintahan saat ini seperti pemerintahan orde lama dan orde baru yang disingkat menjadi pemerintahan orde laba yang tidak capable, bermain main dengan nyawa, tidak tanggung jawab terhadap rakyat. Ini sudah menjadi kartel bisnis laba karena DPR sama sekali tidak bersuara, pemerintah yang tidak mengerti nasib rakyat di masa pandemi” Ujar Anthony Budiawan.

Anthony melihat kasus terburuk COVID hari ini di dunia adalah Indonesia karena cara penanganan prioritas ekonomi dibandingkan kesehatan adalah keliru besar.

“Kemarin, dengan alasan ekonomi, pemerintah membuka tempat hiburan dan perbelanjaan menjelang lebaran, menyelenggarakan pilkada diberbagai daerah yang semua itu membuat peningkatan pendemi hari ini, sehingga kemarin itu salah besar cara penanganannya. Ujar Anthony Budiawan

Anthony berpendapat keberhasilan pengendalian pandemi menentukan recovery ekonomi sehingga menahan mobilitas penduduk dengan jaminan pangan mutlak diperlukan. Anthony berharap pemerintah jangan lepas tangan dari tanggungjawab pada masyarakat.

“Ekonomi tidak akan bisa terkejar kalau pandemi tidak dapat dikendalikan. Tanpa kompensasi kebutuhan hidup masyarakat bantuan tunai akan terjadi pembangkangan masyarakat. Ini seolah ingin menghindari karantina wilayah dimana negara mesti bertanggung jawab pada masyarakat”. Ujar Anthony Budiawan.

Anthony menjelaskan bahwa penyediaan pangan untuk karantina wilayah harus ditangani pemerintah dan pemerintah memiliki dana SILPA untuk membiayai pemenuhan kebutuhan tersebut.

“Ada anggaran negara SILPA tetapi tidak dibelanjakan untuk penanganan Covid 19, sebaiknya gunakan dana tersebut untuk pemberlakukan UU karantina wilayah selama 1 bulan, dengan begitu COVID19 bisa ditekan dan krisis tidak berkelanjutan”. Ujar Anthony Budiawan.

*Mengamuknya Varian Delta Berlangsung Lama Sampai November atau Desember 2021*

Sidrotun Naim, Pengkaji Kebijakan & Inovasi, IPMI Business School dan Research Affiliate Harvard Kennedy School mengatakan bahwa krisis covid ini bersifat nasional namun sense of crisis dari pemerintah belum ditunjukan dan terkesan ditutupi demi ekonomi.

“Krisis ini bersifat nasional tetapi sense of crisis dari pemerintah ini missleading. Dari krisis, kita belajar bahwa kalau terjadi krisis itu jangan ditutupi, publik malah harus diedukasi terkait apa yang harus dikerjakan”. Ujar Sidratun Naim.

Sidratun Naim meminta Indonesia belajar dari India dan Chile yaitu varian delta tidak bisa hilang kecuali dengan Lockdown atau karantina wilayah.

“Virus ini lambat laun akan menyebar ke seluruh propinsi diluar Jawa dan Bali. Negara-negara yang kasusnya banyak seperti India dan Chile tidak bisa hilang kecuali dengan Lockdown. Pemerintah jangan menunggu buruk dulu kondisinya baru mengambil tindakan. Delta itu lebih lama untuk isolasi mandirinya, lebih dari 21 hari. Saat ini semua orang harus sadar bahwa saat ini sedang terjadi krisis” Ujar Sidratun Naim

Varian delta hasil penelitian India menyebar 6 bulan sehingga ancaman varian delta dapat berlangsung lama sampai akhir tahun 2021.

“Delta itu akan berlangsung masih lama di Indonesia belajar dari kasus delta di India, bisa sampai bulan November atau Desember 2021”. Ujar Sidratun Naim.

*Salah dari Awal, Harusnya Karantina Wilayah*

Fadhil Hasan, ekonom senior mengatakan Indonesia sudah dari awal salah, harusnya menerapkan UU karantina wilayah sedangkan konsekuensi pendanaan bisa menggunakan SILPA yang cukup besar.

“Indonesia sudah dari awal salah, harusnya menerapkan UU karantina wilayah bukan menerapkan istilah-istilah baru seperti PSBB, PPKM Darurat yang tidak ada dasar hukum formalnya sedangkan konsekuensi pendanaan dari UU karantina bisa menggunakan SILPA yang jumlahnya Rp385 triliun di 2020, Jakarta membutuhkan Rp7 triliun per bulan”. Ujar Fadhil Hasan.

*Kementerian Kesehatan Harus Jadi Leading Sektor Penanganan COVID19*

Achmad Nur Hidayat, Pakar kebijakan publik Narasi Institute mengusulkan agar UU Karantina Wilayah diberlakukan 1 bulan dan masyarkat diberikan kebutuhan pangannya dengan begitu mobilitas penduduk dapat dikendalikan.

“Pemberlakukan karantina wilayah cukup satu bulan dan negara hadir memberikan kebutuhan pangan masyarakatnya sesuai dengan UU karantina wilayah” Ujar Achmad Nur Hidayat yang juga Dosen Ekonomi Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta.

Achmad Nur Hidayat mengatakan dengan UU karantina wilayah diberlakukan maka Presiden mengambil alih penanganan COVID dan Presiden segera menjadikan leading sektornya adalah Kementerian Kesehatan.

“Presiden mengambil alih penganan COVID19 dengan memberlakukan UU karantina wilayah dan menempatkan peran kementerian kesehatan pada leading sektornya, Bila RS kekurangan oksigen dan obat-obatan maka menkes harus yang bertanggunjawab.”. Ujar Achmad Nur Hidayat

*PETISI PEMBERLAKUKAN UU KARANTINA DENGAN JAMINAN PANGAN PUBLIK*

Narasi Institute tegas mengingatkan agar pemerintah memberlakukan UU karantina wilayah dimana didalamnya memberikan jaminan pangan kepada masyarakat agar mobilitas penduduk dapat dihentikan.

“Masalah keuangan bisa diselesaikan dengan penggunaan SILPA dalam pemberlakuan UU Karantina Wilayah. Ujar Fadhil Hasan, Pendiri Narasi Institute.

*Empat Poin PETISI*

Narasi Institute menempuh sejumlah langkah untuk mengingatkan pemerintah termasuk membuat petisi online kepada Pemerintah. Petisi online berisikan empat poin yaitu (1) Pemberlakuan UU Karantian Wilayah, (2) Pemberian Kebutuhan Pangan Menggunakan Dana SILPA, (3) Percepatan Vaksinasi dan (4) Menjadikan Leading Sektor Penanganan COVID kepada Kementerian Kesehatan. Pernyataan tersebut disampaikan Zoominari Kebijakan Publik Narasi Institute bertopik Quo Vadis Tata Kelola Penanganna COVID19, Jumat (9/7/2021).

Temukan juga kami di Google News.