Jakarta – Direktur Sabang Merauke Circle (SMC) Dr. Syahganda Nainggolan mengkritik hasl survei “Menakar Kandidat DKI 1” yang dirilis beberapa hari lalu. Pasalnya, dalam survei tersebut telah menempatkan Yusril Izha Mahendra semuanya “underdog” pada setiap indikator yang disurvey.
Syahganda menilai survei yang dipimpin peneliti Prof Hamdi Muluk telah melakukan kebohongan ilmiah.
“Secara kasat mata sebenarnya kita sudah tahu bahwa survei ini didasari motif yang tidak netral,” kata Syahganda, Kamis (4/8/2016).
Sebab, menurut Syahganda, Muluk merupakan pendukung Jokowi dan Ahok sepanjang masa. Namun, Syahganda menyarankan agar ada baiknya perlu ada pertimbangkan kelemahan ilmiah studi tersebut. Pertama, kesalahan melakukan sampling. Standar elementer penelitian kuantitatif adalah menarik sampel. Syahganda pun mempertanyakan 206 pakar yang diambil sebagai sampel tidak jelas mewakili expert apa?
“Klaim muluk bahwa 60 % lebih terdiri dari professor dan doktor tidak menjawab pertanyaan, siapa populasi yang dituju?. Apakah 206 orang tsb mewakili jumlah 5109 professor atau 23.000 doktor di Indonesia? Apakah responden ini mewakili expert yang tinggal di jakarta? Atau umum? Apakah ekspert ini ahli dibidang kepemerintahan atau malah ahli bedah jantung?,” tanya dia.
Kedua, sambung Syahganda, “expert judment” yang diklaim sebagai “opinian leader” telah menempatkan Yusril pada penilaian intelektualitas terendah dibanding 8 kandidat lainnya. Dan menempatkan Ahok sebagai orang yang paling intelektual.
“Tentu hasil ini tidak masuk akal. Sebuah aksioma, bukan hipotetik, kalau Yusril pasti lebih tinggi intelektualnya daripada Ahok, dan mungkin lainnya,” ujarnya.
Syahganda beralasan bahwa pertama, Yusril merupakan professor di universitas nomer satu di Indonesia versi QS, THE, Webmetric dll. Dan dia mencapai gelar akademik tertinggi, sebagai doktor. Juga seorang professor. Sedangkan Ahok dari kampus biasa biasa saja. Bukan doktor. Mungkin ini bukan indikator penting menurut Muluk dkk, namun itu sebuah common sense bahwa tingkat intelektualitas tersebut sangat terkait dimana seseorang menimba ilmu.
Ketiga, tambah dia, hasil survey yang menempatkan Yusril paling tidak direkomendasikan sebagai calon Gubernur DKI bertentangan dengan hasil survey yang sama pada indikator “Jika hanya Ahok, Yusril dan Safri” di “judment” para ekspert tersebut.
“Pada indikator ini malah Safri yang paling jeblok, 3,8%. Sedang Yusril masih di atas yang abstain, yakni 24,1%,” bebernya.
“Jadi, kita tahu bahwa survey ini merupakan kebohongan ilmiah, dari permainan politik pendukung Jokowi Ahok. Khususnya Professor Hamdi Muluk,” tututnya.
Selain itu, Syahganda mensinyalir bahwa survey tersebut tentu ditujukan juga pada dua hal. Pertama menggertak Mega dan PDIP agar segera mendukung Ahok. Hal ini menjadi jelas dengan uraian Muluk bahwa PDIP akan hancur pada 2019 jika tidak mendukung Ahok. Kedua, Survey ini mendeligitimasi para ulama yang menempatkan Yusril sebagai calon terbaik dari kalangan ummat Islam.
“Gerakan ulama yang mendukung Yusril ini merupakan kekuatan besar, baik dari segi massa aktif, maupun pengaruh elitnya,” tandasnya.
Tinggalkan Balasan