Jakarta – Aktivis Roemah Palapa Eko Pr mengkritisi rencana aksi unjuk rasa Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) dan beberapa elemen Papua lainnya yang mempertanyakan Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) tahun 1969 yang menjadi salah satu landasan kembalinya wilayah Papua ke pangkuan NKRI pada Selasa besok (2/8/2016).
Eko menyebut gerakan AMP nampak ada standar ganda dibalik isu yang diangkatnya tersebut. Ia menilai gerakan tersebut nampak tidak murni dan akhir-akhir ini justru didukung oleh LSM-LSM dalam negeri, yang konon adalah pemerhati HAM, ikut memberi ruang atau mungkin menumpang isu Papua, sehingga “ikut mendukung” keinginan untuk lepas dari NKRI. Eko juga mensinyalir agenda tersebut ada titipan asing.
“Apakah LSM-LSM itu sadar? Atau memang mereka bukan orang Indonesia lagi ya?. Ini menjadi pertanyaan besar seluruh rakyat Indonesia,” tegas Eko, Senin (1/8/2016).
Dijelaskan Eko, dalam 2 tahun masa pemerintahan Jokowi-JK eskalasi gerakan Papua yang ingin merdeka, dengan mengatasnamakan pelanggaran HAM serta berujung claim bahwa cara bergabung Papua ke NKRI adalah ilegal.
“Wow?!,” kata dia.
Selain itu, Eko kembali menduga adanya kekuatan luar yang mau mengulang cerita Timor-Timur lepas dari NKRI? Tim-Tim dan Papua hal yang berbeda. Tim-Tim sejak semula bukan wilayah NKRI, namun mereka berintegarsi ke NKRI. Papua sejak semula adalah wilayah NKRI sejak kelahirannya 17 Agustus 1945, hanya karena Belanda yang tak rela melepasnya, maka Indonesia merebutnya kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi.
“Apakah harus berulang lagi?,” beber dia.
“Sekarang, ada kekuatan-kekuatan, dari dalam dan luar hendak merong-rong NKRI. Para pengkhianat NKRI itu, atas nama HAM dan Demokrasi, mau memecah belah NKRI,” cetusnya.
“Apakah kita akan tinggal diam?, Apakah TNI/Polri harus berdiam?, Apakah segenap civil society boleh diam?, Apakah pemerintah dan segenap kekuatannya hanya diam?,” tandasnya.
Sebelumnya, beredar kabar bahwa KP-AMP telah mengeluarkan seruan aksi 2 Agustus 2016, yakni sebagai berikut :
“PEPERA 1969 Tidak Demokratis,Hak Menentukan Nasib Solusi Demokratis Bagi Rakyat Papua Barat”
Perebutan wilayah Papua antara Belanda dan Indonesia pada dekade 1960an membawa kedua negara ini dalam perundingan yang kemudian dikenal dengan “New York Agreement/Perjanjian New York”. Perjanjian ini terdiri dari 29 Pasal yang mengatur 3 macam hal. Diantaranya Pasal 14-21 mengatur tentang “Penentuan Nasib Sendiri (Self Determination) yang didasarkan pada praktek Internasional yaitu satu orang satu suara (One Man One Vote)”. Dan pasal 12 dan 13 yang mengatur transfer Administrasi dari PBB kepada Indonesia, yang kemudian dilakukan pada 1 Mei 1963 dan oleh Indonesia dikatakan ‘Hari Integrasi’ atau kembalinya Papua Barat kedalam pangkuan NKRI.
Kemudian pada 30 September 1962 dikeluarkan “Roma Agreement/Perjanjian Roma” yang intinya Indonesia mendorong pembangunan dan mempersiapkan pelaksanaan Act of Free Choice (Tindakan Pilih Bebas) di Papua pada tahun 1969. Namun dalam prakteknya, Indonesia memobilisasi Militer secara besar-besaran ke Papua untuk meredam gerakan Pro-Merdeka rakyat Papua. Operasi Khusus (OPSUS) yang diketua Ali Murtopo dilakuakan untuk memenangkan Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) diikuti operasi militer lainnya yaitu Operasi Sadar, Operasi Bhratayudha, Operasi Wibawa dan Operasi Pamungkas. Akibat dari operasi-operasi ini terjadi pelanggaran HAM yang luar biasa besar, yakni penangkapan, penahanan, pembunuhan, manipulasi hak politik rakyat Papua, pelecehan seksual dan pelecehan kebudayaan dalam kurun waktu 6 tahun.
Tepat 14 Juli – 2 Agustus 1969, PEPERA dilakukan. Dari 809.337 orang Papua yang memiliki hak, hanya diwakili 1025 orang yang sebelumnya sudah dikarantina dan cuma 175 orang yang memberikan pendapat. Musyawarah untuk Mufakat melegitimasi Indonesia untuk melaksanakan PEPERA yang tidak demokratis, penuh teror, intimidasi dan manipulasi serta adanya pelanggaran HAM berat.
Dari 1.025 orang utusan dalam DMP yang sebelumnya sudah dikarantina, cuma 175 orang yang memberikan pendapat (secara lisan). Sudah dapat ditebak hasilnya, PEPERA berhasil dimenangkan oleh Indonesia dengan suara mutlak. Fakta ini menunjukan bahwa proses pelaksanaan PEPERA 1969 adalah ilegal, penuh rekayasa dan tidak demokratis.
Maka dalam peringatan 47 tahun PEPERA yang tidak demokratis, Aliansi Mahasiswa Papua [AMP] Megajak seluruh kawan-kawan mahasiswa Papua untuk dapat melibatkan diri dalam aksi damai yang akan Dilakukan Pada;
Hari/Tgl : Selasa, 02 Agustus 2016
Tempat : Serentak Di Setiap Komite Kota Aliansi Mahasiswa Papua [KK-AMP]
Demikian seruan aski ini kami buat, atas partisipasi seluruh kawan-kawan mahasiswa Papua sebagai bentuk pegabdian kami kepada rakyat dan Tanah air Papua, kami ucapkan Jabat Erat.
Colonial Land, 30 Juli 2016
Komite Pusat Aliansi Mahasiswa Papua [KP-AMP]
Tinggalkan Balasan