Jakarta – Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) memprotes keras atas terpilihnya Wiranto, mantan Panglima ABRI dimasa Orde Baru yang juga saat ini masih menjabat sebagai Ketua Umum Partai Politik Hati Nurani Rakyat (Hanura) sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolkam) yang baru saja diumumkan di Istana Presiden Rabu 27 Juli 2016.

“Pernyataan Presiden Joko Widodo ditahun 2014 yang menyatakan bahwa figur Ketua umum Partai Politik tidak boleh merangkap menjadi Menteri, seharusnya adalah filter sederhana yang tidak bisa menempatkan Wiranto dalam jajaran menteri,” tegas Koordinator Kontras Haris Azhar, Rabu (27/7/2016).

Namun dalam semangat dan argumentasi HAM, lanjut dia, pihaknya ingin menyatakan opini kepada terpilihnya Wiranto yang diketahui luas berada di deret depan dari nama-nama yang harus bertanggungjawab atas sejumlah praktik pelanggaran HAM yang berat sebagaimana yang telah disebutkan dalam sejumlah laporan Komnas HAM. Seperti Peristiwa penyerangan 27 Juli Tragedi Trisakti, Mei 1998, Semanggi I & II, penculikan dan penghilangan aktivis pro-demokrasi 1997/1998, Biak Berdarah.

Masih kata Haris, tidak kalah penting adalah ketika namanya disebut-sebut di dalam sebuah laporan khusus setebal 92 halaman yang dikeluarkan oleh Badan Peserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di bawah mandat Serious Crimes Unit, menyatakan bahwa “Wiranto gagal untuk mempertanggung jawabkan posisi sebagai komandan tertinggi dari semua kekuatan tentara dan polisi di Timor Leste untuk mencegah terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan dan gagalnya Wiranto dalam menghukum para pelaku.” Pernyataan lantang ini pula yang akhirnya menyulitkan Wiranto bergerak masuk ke dalam yurisdiksi internasional, salah satunya adalah Amerika Serikat (US Visa Watch List) ditahun 2003.

“Hari ini pula, hari di mana bertepatan dengan 20 tahun peringatan berdarah 27 Juli, di mana diketahui Wiranto mendapatkan posisi strategis pasca penyerbuan kantor PDI,” terang Haris.

Kala itu, sambung Haris, Wiranto juga naik posisi menjadi Kepala Staf Angkatan Darat dengan pangkat Jenderal bintang 4. Keuntungan-keuntungan dari situasi keamanan dan politik rezim selalu memberikan ruang gerak kepada Wiranto untuk mengambil keputusan-keputusan yang berujung pada skema impunitas.

Dengan catatan-catatan tersebut, kata Haris, maka KontraS bertanya secara langsung kepada Presiden dan Menteri Sekretaris Negara: di mana letak profesionalitas, nyata, dirasakan masyarakat, teruji berpengalaman apabila anda baik terpaksa dan suka rela memilih nama Wiranto sebagai pucuk menteri strategis Kabinet Kerja kali ini?

“Soliditas tidak akan terbangun di atas figur-figur rapuh yang seiring waktu harus mempertanggungjawabkan tindakannya ketika ia masih menjabat posisi-posisi penting di Republik. Konsep retailer cenderung menguat. Nampaknya yang solid adalah elite,” ungkapnya.

Selain itu, kata Haris, KontraS juga ingin meminta dukungan publik untuk bersolidaritas kepada korban dan keluarga korban pelanggaran HAM untuk semangat, membangun strategi dan siasat bahwa keadilan, bahwa negara harus dan tetap bertanggung jawab membawa dan berpihak kepada keadilan, memulihkan mereka yang dicabut haknya, terkena stigma.

“Dan memastikan individu-individu pelanggar HAM akan dihukum sesuai dengan norma hukum yang berlaku di Republik Indonesia,” tandasnya.

Temukan juga kami di Google News.