Jakarta – Jaringan Aktivis Reformasi Indonesia (Jari 98) menyebutkan masih belum relevansinya Tentara Nasional Indonesia (TNI) ikut menangani kasus teroris. Ketua Dewan Presidium Jari 98 Willy Prakarsa justru lebih mengkhawatirkan apabila TNI terlibat dalam penanggulangan terorisme tersebut. Pasalnya, akan terjadi pelanggaran-pelanggaran hukum dan itu akan sulit untuk diusut.
“Keterlibatan TNI ini bisa dilakukan kecuali penangkapan dalam situasi out of beyond police capacity. Jadi TNI tidak cocok terlibat tangani kasus itu karena ranahnya pelanggaran hukum. Jika TNI masuk pada penanggulangan teroris, berani TNI masuk pada penegakan hukum,” beber Willy, usai berdiskusi terkait upaya pemberantasan terorisme dengan Direktur Pencegahan BNPT Brigjen Pol Hamidin, di Jakarta, Sabtu (23/7/2016).
Dijelaskan dia, ada hal yang perlu dipahami alasan Polri didepan TNI membantu dalam operasi penangangan terorisme seperti dalam Operasi Tinombala. Prinsip dasar yang dianut PBB dalam perang melawan terorisme adalah: “Terrorism is crime/violence (political ideological-motivated). Criminal must be brought to justice”. Presiden SBY pada tahun 2003, telah menetapkan kebijakan dasar dalam Counter Terrorism (CT) berdasarkan supremasi hukum. Berdasarkan prinsip dasar tersebut, PBB juga telah mengeluarkan 16 Konvensi (UN Conventions) dan Resolusi Dewan Keamanan PBB (UN Security Council Resolution) yang digunakan dalam strategi melawan terorisme. RI telah meratifikasi 7 (tujuh) konvensi tersebut yang artinya telah menjadi hukum positif bagi RI.
Selanjutnya, kata Willy, tiap negara anggota PBB (member state) tentu punya Undang-Undang dan kebijakan/strategi sendiri dalam menangani terorisme, tetapi sudah tentu harus compatible dengan prinsip-prinsip Internasional karena telah mengadopsi konvensi-konvensi tersebut, bahkan kalau ditetapkan dalam UNSC Resolution maka semua negara anggota PBB wajib melaksanakannya.
“Sangatlah tepat kita perlu memahami konvensi dan resolusi PBB dalam penanganan terorisme,” ujarnya.
Dikatakan Willy, Undang-Undang Terorisme (UU No.15/2003) sudah tentu telah mengadopsi prinsip-prinsip Internasional tersebut, namun dalam perkembangannya kini tentu perlu penyesuaian karena ancaman terorisme yang di hadapi berkembang mengikuti dinamika ancaman radikalisme-terorisme lintas negara. Apa yang perlu disesuaikan? Strategi dan kebijaksanaan Counter Terrorism (CT) saat ini diwarnai oleh kebutuhan strategi CT pasca 9/11 dimana fokusnya adalah penindakan terhadap ancaman fisik seperti kelompok teror bom, serangan bersenjata, dsb.
“Realisasi kebijakan tersebut ternyata tidak menghentikan ancaman terorisme karena radikalisme sebagai sumber utama terorisme belum bisa dihentikan. Lihat rangkaian teror aktual yang terjadi di ke-4 benua termasuk Indonesia periode akhir 2015 hingga kini, sebagai contoh yang terakhir di Nice, Perancis,” bebernya.
Lebih lanjut, Willy mengemukakan peran militer tentu sangat dibutuhkan tetapi perlu diketahui bahwa pada situasi dan sekuen yang mana militer berperan? Dalam konteks ini ada prinsip universal yang menjadi pedoman yaitu sbb; “Military assist when situation is beyond Police capacity”.
“Prinsip tersebut telah direalisasikan oleh TNI-Polri dalam Operasi Tinombala dan ternyata cukup efektif,” terang dia.
Willy menegaskan untuk pemberantasan terorisme di Indonesia adalah kewenangan Polri sebagai pemelihara kamtibmas dan penegak hukum sesuai dengan amanat dari UU Polri Nomor 2 Tahun 2002. Ia juga mengingatkan bahwa peran serta TNI untuk membantu Polri jikalau terjadi pembajakan di pesawat, kapal laut, pegunungan hingga memasuki hutan balantara.
“TNI sekarang jauh lebih dewasa dan reformis dibawah kendali Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo dan lebih bersinergis dengan Polri dibawah kepemimpinan Kapolri Jenderal Pol. Tito Karnavian,” jelasnya.
Willy menambahkan Jari 98 mendukung Komisi III untuk segera mengesahkan dan merampungkan UU Pemberantasan Terorisme tersebut.
“Demi tercipta rasa aman buat rakyat di tanah air,” ucapnya.
Lebih jauh, Willy menilai bila ada UU tentang tugas perbantuan pun, TNI hanya dalam konteks keamanan saja bukan dalam konteks penindakan. Sebab dalam konteks pencegahan terorisme pun sudah diatur dalam keputusan Presiden.
“Keterlibatan TNI ini bisa membuka ruang untuk masuk dalam persoalan hukum dan keamanan sipil yang selama ini menjadi kewenangan Kepolisian,” tuturnya.
Masih kata Willy, sebagai kejahatan against human right, maka pidana terorisme harus bermuara di Pengadilan. Setelah penindakan, harus ada olah TKP (Crime scene processing), check sidik jari, check DNA, check geligi, Berita acara, DVi dll.
“Sulit mengkaitkannya dengan tugas pokok TNI yang mengedepankan gun men to gun men nirlegal process. Perang melawan teroris bukan perang konvensional, tapi perang asimetris,” tandasnya.
Tinggalkan Balasan