Yth. Bapak Presiden RI Joko Widodo
di tempat

Kepada Bapak Presiden RI Joko Widodo yang kami hormati. Izinkanlah kami Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) menyampaikan masukan dan pandangan tentang kebijakan dan langkah yang harus dilakukan dalam penanganan Pandemic COVID-19 di negeri ini. Harapan kami, masukan dan pandangan ini menjadi salah satu hal yang memberikan kebermanfaatan bagi bangsa dan rakyat Indonesia dalam menghadapi kondisi yang sedang tidak stabil saat ini.

1. Pemerintah pusat harus menilik setiap kebijakan dengan sebaik-baiknya tentang kesehatan dan keselamatan seluruh rakyat Indonesia tanpa terkecuali. Terhitung sejak tanggal 13 April 2020 pukul 17.00 WIB terdapat 4.557 kasus COVID19 yang terkonfirmasi positif di negara kita, Negara Kesatuan Republik Indonesia. Berdasarkan beberapa penelitian dan perhitungan yang dilakukan oleh berbagai pihak salah satunya. Pusat Pemodelan Matematika dan Simulasi Institut Teknologi Bandung, menyebutkan bahwa kasus COVID-19 di Indonesia diperkirakan akan melampaui angka
8.000 hingga pertengahan April mendatang. Kondisi di lapangan saat ini dengan melihat kebijakan pemerintah, fasilitas kesehatan, tenaga medis, serta kesadaran masyarakat yang masih minim terhadap dampak dari COVID-19.

Kemudian, Pusat Pemodelan Matematika untuk Penyakit Menular yang berbasis di London, Britania Raya memperkirakan bahwa hanya ada 2% (dua persen) informasi yang disebarkan dari kasus COVID-19 di Indonesia. Dalam hal ini kami meminta agar pemerintah memberikan informasi yang sebenarnya dengan terbuka kepada masyarakat agar memahami secara penuh bahwasannya kondisi bangsa kita sedang tidak baik-baik saja, sehingga akan muncul semangat dan kesadaran dari masyarakat untuk membantu semua pihak melawan penjajah bangsa kita yang tak terlihat wujudnya ini.

Para pakar kesehatan dunia menyebutkan bahwa Indonesia sedang mengalami lonjakan kasus COVID-19 yang sangat signifikan karena lambatnya respon dari pemerintah, bahkan Indonesia menduduki posisi tertinggi di Asia Tenggara. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO, Indonesia hanya memiliki satu tempat tidur rumah sakit untuk setiap 1.000 orang yang dalam hal ini negara kita pada posisi terendah di Asia Tenggara. Padahal bangsa kita bangsa yang besar, sangat tidak patut ketika dalam hal fasilitas kesehatan kita jauh tertinggal dengan negara-negara tetangga.

Kami meminta pemerintah pusat khususnya Bapak Presiden Joko Widodo yang terhormat untuk bisa memprioritaskan dan mempersiapkan segala kebutuhan yang diperlukan tenaga medis dengan sebaik-baiknya yang saat ini sedang berperang melawan virus corona dan berjuang menyelamatkan hidup rakyat Indonesia. Fasilitas kesehatan itu merupakan peralatan perang yang diperlukan garda terdepan bangsa kita saat ini yaitu tenaga medis untuk masuk ke medan juang melawan pandemic COVID-19. Rumah sakit yang memadai bagaikan markas besar bagi mereka, alat pelindung diri (APD) bagaikan rompi anti peluru bagi mereka, dan persenjataan lain yang menjadi instrumen pendukung bagi mereka dalam melawan penjajah bangsa kita saat ini yaitu COVID-19.

Maka bekalilah para pahlawan bangsa kita dengan sebaik-baiknya bekal. Kemudian, kami meminta pemerintah untuk bisa memberikan kebijakan yang tegas kepada seluruh masyarakat agar tidak menjadi mediator penyebaran COVID-19 ini ke tempat-tempat atau daerah-daerah yang mereka tuju. Contoh dengan adanya proses mudik dari wilayah yang terdampak ke tempat tujuannya masing-masing di seluruh penjuru wilayah Indonesia dengan skala yang sangat besar tanpa ada kebijakan tegas dari pemerintah pusat, menjadikan angka penyebaran serta perluasan dampak COVID-19 ini akan terus bertambah dengan pesat. Sementara pemerintah pusat melalui Jubir pemerintahan dirasa seperti tidak serius dalam memberikan informasi kepada masyarakat
luas, dengan beredarnya berita di media massa, saling bantah pejabat tinggi antara juru bicara dan sekretaris negara. Ini mengindikasikan ‘gagap’-nya pemerintah pusat dalam menangani kasus Covid-19, khususnya dalam bidang komunikasi.

Pada pernyataan pemerintah pusat tersebut menyebutkan yang pada intinya, pemerintah menghimbau untuk tidak mudik kepada masyarakat luas tetapi lain sisi, pemerintah juga tidak melarang mudik. Pemerintah seperti hanya bermain himbauan disaat seharusnya pemerintah memahami secara penuh, jika budaya masyarakat Indonesia saja masih banyak yang melanggar peraturan ketika peraturan hukum telah ditetapkan. Tandanya, himbauan yang disampaikan pemerintah kepada masyarakat tidak ada payung hukum yang jelas dan tidak bersifat mengikat. Jadi, suatu hal yang wajar jika masyarakat Indonesia pada saat ini lebih memilih hati nuraninya untuk menyambung silaturrahim di tanah kelahiran atau bertemu dengan sanak keluarga di kampung halaman.

Ditambah lagi situasi ekonomi di kota-kota besar yang mengalami guncangan, seperti PHK massal serta tidak adanya jaminan sosial menambah, ketidakpastian pekerja, buruh dan pelaku ekonomi dikalangan bawah untuk bertahan hidup di kota-kota besar, dan ini sama saja memberikan satu-satunya pilihan kepada masyarakat untuk melakukan mudik ke kampung halamannya masing-masing, dimana hal tersebut merupakan salah satu cara terbaik bagi COVID-19 untuk menyebarluaskan dampaknya di negara ini.

Dengan ini, kami meminta pemerintah pusat khususnya presiden segera mengeluarkan kebijakan tentang larangan mudik bagi seluruh masyarakat Indonesia, karena salah satu angka arus mudik paling besar adalah dari DKI Jakarta ke seluruh penjuru wilayah di Indonesia. Kita ketahui bersama bahwa DKI Jakarta saat ini menjadi episentrum kasus COVID-19 yang terkonfirmasi di Indonesia, itu artinya tidak ada jaminan kepada masyarakat yang melakukan mudik tidak membawa virus ke keluarga, rumah, lingkungan, dan daerahnya masing-masing.

Mohon ini menjadi perhatian pemerintah pusat dengan baik dan bijak. Secara perhitungan, negara kita bisa jadi memang lambat dalam menghadapi kondisi ini. Tapi tidak ada kata terlambat demi menyelamatkan seluruh rakyat Indonesia.

2. Pemerintah pusat harus menetapkan kebijakan yang tidak berkedok kepentingan politik

Dengan banyaknya isu yang berkembang dan kondisi bangsa kita yang sedang mengalami tekanan di berbagai aspek misalnya kesehatan, ekonomi, pendidikan, pertahanan, dan bidang lain yang juga merasakan dampak dari COVID-19 ini akan banyak pihak yang memanfaatkan kondisi ini untuk melancarkan kepentingannya diatas kepentingan keselamatan rakyat Indonesia. Salah satu permasalahan, mengenai Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI No.10 tahun 2020 tentang Syarat Pemberian Asimilasi dan Hak Integrasi bagi Narapidana dan Anak dalam rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19.

Serta keputusan Menteri Hukum dan HAM RI No.M.HH-19 PK.01.04.04 Tahun 2020 tentang Pengeluaran dan Pembebasan Narapidana dan Anak melalui Asimilasi dan Integrasi dalam rangka pencegahan dan penanggulangan penyebaran covid-19. Peraturan ini akan membebaskan napi dari penjara dengan alasan mencegah penyebaran COVID-19 di dalam lembaga pemasyarakatan, yang kami rasa kurang tepat, justru dengan tidak membebaskan napi dari dalam penjara, maka kesehatan serta kebersihan di dalamnya tetap terjaga tidak akan ada penyebaran COVID-19 di dalamnya.

Jikalaupun ada napi baru dari luar yang masuk kedalamnya sudah pasti diharuskan menjadi orang dalam pantauan (ODP) dengan memberikan ruangan khusus dan mengisolasi dirinya selama waktu yang ditentukan untuk menghindari penyebaran ke tahanan lain. Berbanding terbalik jika para napi dikeluarkan dengan interaksi dan kehidupan sosial yang mereka lakukan akan menambah potensi penyebaran COVID-19 ini di lingkungannya. Dirasa keputusan Kemenkumham mengenai pembebasan Napi ini juga harusnya dipantau dengan penjagaan dan kontrol yang ketat dan tepat disaat efek jera Napi selama masa tahanan belum menjadi jaminan mereka tidak akan berbuat ulah kembali ketika bergabung di lingkungan masyarakat secara bebas. Terbukti, salah satu kasus di Makassar dari eks Napi asimilasi ditangkap karena mencuri uang di warung warga, selanjutnya dua Napi menjambret lagi di Surabaya. Ini baru beberapa kasus yang terungkap
akibat dari keputusan Kemenkumham untuk memberikan asimilasi kepada napi tanpa adanya pengawasan yang jelas. Kami meminta kepada Bapak Presiden Joko Widodo, untuk bisa memperhatikan dan memberikan kebijakan serta proses pengawasan yang baik terhadap kebijakan yang telah diputuskan agar tidak menambah permasalahan baru.

Selanjutnya kami mengkritisi mengenai peraturan yang telah diterbitkan oleh Pemerintah Pusat terkait Perppu No.1 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Kawasan Ekonomi Khusus. Dulu, rakyat ramai-ramai meminta Bapak selaku Policy Maker untuk memberikan sebuah kebijakan yang mendukung diterbitkannya Perppu KPK yang dirasa saat itu telah dilemahkan fungsinya. Serta Perppu yang tidak diharapkan rakyat banyak ini pun, diduga lebih mementingkan oligarki politik karena terindikasi ada buah pikir dari isu Omnibus Law itu sendiri. Sekarang, rakyat meminta kepada pemerintah pusat untuk cepat menerapkan Karantina Wilayah yang dirasa menjadi solusi daerah yang sudah terinfeksi virus corona.

Tetapi, pemerintah dengan segala pertimbangannya malah membuat kebijakan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 21 tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dalam rangka penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) ke seluruh wilayah. Kami rasa, Pemerintah membuat kebijakan ini didasari pemerintah tidak mempunyai biaya yang mencukupi untuk membiayai bahan pokok yang dibutuhkan masyarakat secara luas. Tidak dipungkiri, narasi setelah dari pemberlakuan PSBB jika dirasa tak efektif dan efisien, untuk opsi terakhir ialah menerapkan Sistem Darurat Sipil.

Pertanyaan yang mendasar, “Apa yang bapak pikirkan? Kita sedang melawan virus atau melawan rakyat Indonesia itu sendiri, Pak?” Kemudian, kami meminta pemerintah pusat terkhusus Presiden beserta para menteri dan jajarannya, selanjutnya Ketua DPR RI berserta jajarannya untuk fokus pada penanganan kasus COVID-19 di negara ini. Jangan memanfaatkan kondisi ini untuk
melancarkan kepentingan pribadi ataupun sebagian kelompok, mulai dari RUU yang kontroversi di periode sebelumnya untuk cepat-cepat disahkan dalam masa pandemi, khususnya RUU yang dirancang untuk memangkas regulasi pada periode ini, yaitu Omnibus Law RUU Cipta Kerja, dalam perjalanan menuju pembahasan di badan legislatif DPR RI, dan hal atau kebijakan lainnya.

Padahal di lain sisi banyak sekali masyarakat yang mempertanyakan keberpihakan pemerintah untuk mensejahterahkan rakyatnya atau tidak, bahkan ada yang menolak terhadap rencana kebijakan yang akan dibuat pemerintah karena berlandaskan dengan berbagai macam kajian yang dibuat oleh banyak elemen masyarakat dengan satu narasi dan tujuan, yaitu mensejahterahkan seluruh rakyat Indonesia.

Baleg akan mempertanyakan sikap pemerintah untuk terus melanjutkan pembahasan RUU Cipta kerja di masa pandemi seperti ini atau tidak. Dengan rasa hormat kami tuturkan kepada Bapak Presiden Joko Widodo yang terhormat, mewakili pemerintah, mewakili masyarakat Indonesia. Kami rasa bapak sudah cukup dewasa dalam menimbang kebijakan dengan mempertimbangkan hati nurani yang bersih disaat masyarakat sedang berjibaku melawan musuh yang tak terlihat, yaitu Virus Corona. Akan tetapi, dilain sisi, kita harus mengorbankan perasaan yang menyakitkan karena tidak bisa memberikan aspirasi secara luas untuk memberikan gagasan kepada RUU yang dirasa bermasalah tersebut. Kami kira, bapak selaku Presiden tidak ada lagi kepentingan politik untuk masa periode selanjutnya.

Oleh karena itu, jika bapak tidak ingin disebut sebagai pemimpin “boneka” oleh rakyat Indonesia, sampaikan sikap dan ketegasan yang nyata kepada kita semua untuk membatalkan segala narasi pembahasan terhadap RUU yang bermasalah di kalangan masyarakat dan fokus pada pembahasan dan penanggulangan Covid-19 itu sendiri.

3. Utamakan Keselamatan Rakyat dibanding kepentingan Koorporasi dan Oligarki

Kita semua mengerti bahwa keselamatan warga adalah hal yang utama dan pertama di atas segalanya termasuk di atas kepentingan ekonomi. Maka seharusnya pemerintah merealokasikan sistem pendanaan seperti pembiayaan ibu kota baru ataupun proyek-proyek lain yang dirasa tidak diperlukan untuk penanganan covid-19 bukan malah melebarkan batas defisit anggaran 3% menjadi 5% dari Produk Domestik Bruto (PDB), karena akan menimbulkan permasalahan lain misalnya resiko dominasi kepemilikan asing pada surat utang pemerintah, pelemahan nilai tukar rupiah, hingga yang paling berbahaya adalah meningkatnya utang luar negeri Indonesia. Pemerintah jangan sesekali memanfaatkan momentum ini untuk kepentingan oligarki. Pasal-pasal sakti menambah keangkuhan Perppu No.1 Tahun 2020.

Dalam Pasal 27 Ayat 1 disebutkan bahwa kebijakan penyelamatan terkait krisis bukan merupakan kerugian Negara. Bagaimana mungkin anggaran dari APBN dan SUN kemudian ketika terjadi permasalahan kemudian pemerintah bilang bukan kerugian negara. BPK artinya tidak bisa melakukan audit?. Oleh karena itu keberpihakan Pemerintah semakin jelas terhadap kepentingan oligarki
yang menggedor-gedor pintu kekuasaan agar kepentingannya cepat diakomodir. Perppu lebih berbahaya bagi perekonomian, bagi demokrasi jika dibandingkan dengan isi Omnibus
Law Perpajakan dan Omnibus Law Cipta Kerja. Karena pada hakikatnya terikat dalam satu paket antara Perppu dan Omnibus Law. Bangsa ini harus memiliki pandangan yang sama
bahwa ekonomi nasional dan global cepat atau lambat akan pulih kembali (rebound), sedangkan korban warga dan tenaga medis yang meninggal tidak akan bisa kembali lagi.

Setiap warga yang meninggal dan diumumkan oleh pemerintah bukanlah angka statistik saja. Mereka adalah saudara-saudara kita, sama seperti kita memiliki keluarga yang sangat mencintai mereka. Bayangkan jika itu terjadi kepada diri kita, keluarga kita, kerabat kita dan sahabat kita. Jangan pernah beranggapan bahwa korban warga yang meninggal dan yang terinfeksi
sebagai biaya dari krisis (cost of crisis). Apalagi jika itu dianggap sebagai biaya dari pemulihan ekonomi (cost of economic recovery). Pemulihan ekonomi memang penting tetapi jauh lebih penting adalah keselamatan nyawa manusia.

4. Menjamin Mutu Pendidikan ke seluruh wilayah yang ada di Indonesia

Hari ini mahasiswa seluruh kampus sedang melakukan upaya pencegahan virus corona dengan heroik untuk tetap #DiRumahAja. Akan tetapi, banyak mahasiswa yang menginginkan agar uang kuliah yang telah mereka atau orang tua mereka bayarkan dapat kembali. Logikanya sangat sederhana, banyak diantara mereka mengatakan bahwa bayaran kuliah mereka itu tidak mereka rasakan secara langsung, sebab mahasiswa yang telah membayar uang kuliah tidak mendapatkan apa yang seharusnya mereka dapatkan dari Perguruan Tinggi; kelas, kursi, bangku, papan tulis, alat lab, ruang lab, dsb.

Mereka tidak merasakan itu semua yang sudah tercantum dalam Biaya Langsung di biaya UKT yang telah mereka bayarkan. Hal itu menjadi penting karena uang yang telah dikembalikan
tersebut berguna untuk bertahan hidup dari ancaman wabah virus corona yang sudah meluluhlantahkan perekonomian yang menyebabkan harga bahan kebutuhan pokok
menjadi naik dan semakin sulit terjangkau bagi kelas masyarakat bawah. Begitupun juga banyak dari mahasiswa maupun siswa mengeluhkan tentang sistem pembelajaran daring, salah satu penyebabnya adalah kurangnya fasilitas elektronik, jaringan yang bermasalah, banyaknya kuota yang dibutuhkan. Pemberlakuan sistem pembelajaran daring banyak membuat mahasiswa atau siswa kesulitan dalam memahami pelajaran, hal ini disebabkan karena beberapa dari dosen atau guru hanya sekedar memberikan tugas saja tanpa adanya penjelasan terkait pembelajaran. Hal ini tentunya menjadi suatu hal yang merugikan bagi mahasiswa atau siswa dalam memperoleh pendidikan khususnya dalam menjamin mutu pendidikan itu sendiri. Terlebih lagi, dosen atau guru yang memberikan berbagai macam tugas yang dirasa tidak seimbang dengan input pembelajaran yang siswa atau mahasiswa dapatkan dari penjelasan yang disampaikan dosen atau guru, hal ini dikhawatirkan akan menyebabkan beban bagi mahasiswa atau siswa sehingga akan mengganggu kesehatan mental dan fisik turun. Sedangkan apabila hal tersebut terjadi, maka imun tubuh akan menjadi lemah dan dapat menyebabkan mudahnya masuk virus corona.

Keresahan dirasakan oleh para tenaga pengajar yang berstatus non PNS atau honorer. Berdasarkan instruksi yang telah diberikan oleh pemerintah terkait kebijakan Work From Home di tengah pandemi corona, tidak dapat ditemukan instruksi yang mengatur mengenai gaji tenaga pengajar non PNS. Terdapat kejanggalan terhadap kebijakan ini, pasalnya 50 persen pemanfaatan dari Dana Bantuan Operasional Sekolah (Dana BOS) sendiri merupakan untuk pemberian upah guru honorer. Sedangkan, tidak ada satu pun

pembahasan mengenai pemberian upah untuk guru honorer. Oleh karenanya, hal tersebut menimbulkan keresahan bagi guru honorer akan kelanjutan keberjalanan kebijakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI, Nadiem Makarim terkait kesejahteraan guru honorer.

5. Jika keselamatan nyawa rakyat tidak diutamakan kami siap bergerak bersama rakyat dan membersamai rakyat.

Jakarta, 13 April 2020
Koordinator Pusat Aliansi BEM Seluruh Indonesia,

 

Remy Hastian Putra Muhammad Puhi

Temukan juga kami di Google News.