Jakarta – Hasil dari beberapa survei menunjukkan bahwa Joko Widodo-Ma’ruf Amin masih berada pada posisi menguntungkan dalam Pilpres 2019. Elektabilitas Joko Widodo sejak awal tahun juga lebih unggul dari Prabowo. Poltracking Indonesia pada Januari-Februari 2018 mencatat elektabilitas Jokowi 57,6% dan Prabowo 33,7%. Cyrus Network pada bulan Maret-April 2018 menunjukkan angka elektabilitas Jokowi 64,0% dan Prabowo 29,8%. April 2018 Charta Politika menyebutkan bahwa elektabilitas Jokowi 51,2% dan Prabowo 23,3%.

Pengamat Politik Stanislaus Riyanta menilai setelah Jokowi dan Prabowo mempublikasikan pasangannya, elektabilitasnya cenderung tidak berubah. Jokowi lebih unggul dari Prabowo. LSI Denny JA pada bulan Agustus 2018 menyebutkan bahwa elektabilitas Jokowi 53,6% dan Prabowo 28,8%. Sementara survei terbaru dari Indikator Politik pada September 2018 menyebutkan bahwa elektabilitas Jokowi 57% dan Prabowo 31,3%.

“Data-data tersebut menunjukkan bahwa elektabilitas Jokowi tetap lebih unggul dari Prabowo, dan angka persaingan ini cenderung stabil,” tegas Stanislaus, hari ini.

Menurut dia, indikasi lain yang menarik adalah cawapres yang dipilih oleh masing-masing capres tidak signifikan merubah elektabilitas. Meskipun Jokowi berada di atas angin dibandingkan Prabowo, namun situasi politik masih dapat berubah. Masih banyak kesempatan bagi koalisi pendukung Prabowo untuk melakukan berbagai kegiatan untuk menaikkan elektabilitas Prabowo, walaupun yang terlihat saat ini yang dilakukan adalah kegiatan untuk menurunkan elektabilitas Jokowi.

“Salah satu bentuk kegiatan yang dilakukan koalisi Prabowo untuk menurunkan elektabilitas Jokowi adalah melakukan propaganda terkait kelemahan (kegagalan) sektor ekonomi di pemerintahan Jokowi,” jelasnya.

Menurut dia, Tim Prabowo-Sandi terlihat secara dominan menggunakan sektor ekonomi pemerintahan Jokowi sebagai sasaran tembak. Strategi ini cukup masuk akal dan cenderung mempunyai penggalangan suara yang berhasil. Isu-isu ekonomi, yang secara global memang sedang tidak baik, dimanfaatkan sedemikian rupa untuk menunjukkan bahwa pemerintahan Joko Widodo tidak berhasil.

“Sasaran dari propaganda isu ekonomi ini cukup luas mulai dari pengusaha, investor, kelompok menengah, dan kelompok masyarakat bawah,” ucap Stanislaus.

Dikatakannya, isu yang digunakan untuk melakukan tembakan pada sektor ekonomi pemerintahan Jokowi mempunyai daya tarik yang tinggi. Isu tersebut antara lain melemahnya rupiah terhadap dolar US, ketersediaan lapangan kerja, harga bahan pangan yang naik, dan pembangunan infrastruktur yang dikampanyekan tidak tepat sasaran.

“Propaganda untuk melemahkan Jokowi dengan menggunakan isu ekonomi ini cukup mendapat perhatian yang besar dari masyarakat,” sebut dia.

Untuk mendukung serangan pada sektor ekonomi, kata dia, Sandiaga bahkan melemparkan pernyataan-pernyataan yang kontroversial sepertu penggunaan uang 100 ribu untuk belanja, tempe setipis ATM, dan yang terakhir nasi ayam di Singapura yang lebih murah dari Jakarta. Meskipun diragukan kebenarannya, pernyataan Sandi tersebut justru viral sangat cepat dan luar.

“Terlepas dari kebenaran dari statemen tersebut, Sandi berhasil dalam menyampaikan pesan bahwa sektor ekonomi saat ini bermasalah,” kata dia.

Masih kata Stanislaus, Prabowo-Sandi ingin merebut suara masyarakat bawah dengan isu-isu yang sederhana, harga tempe, uang belanja yang tidak cukup 100 ribu, harga nasi ayam yang mahal, lapangan pekerjaan, dan isu populis lainnya. Masyarakat kelas bawah yang cenderung mempercayai pernyataan yang dikatakan oleh tokoh politik, apalagi jika isu yang disampaikan menarik, akan mudah tergalang dan memberikan dukungan kepada Prabowo-Sandi.

Di sisi lain tim Jokowi-Ma’ruf Amin bergerak lambat dan cenderung normatif sehingga dianggap biasa-biasa saja di mata masyarakat.

“Normatif dan formalnya tim kampaye Jokowi-Ma’ruf saat ini menjadi peluang besar bagi Prabowo-Sandi untuk penetrasi kepada masyarakat dengan isu-isu populis yang benar-benar dirasakan oleh masyarakat,” bebernya.

Dia menambahkan jika Jokowi-Ma’ruf tidak segera melakukan kontra propaganda terkait isu-isu ekonomi yang menjadi sasaran tembak Prabowo-Sandi, maka angka elektabilitas yang tersaji indah oleh beberapa lembaga survei sepanjang tahun ini bisa berbalik pada Pilpres 2019 nanti. Elektabilitas yang unggul harus diimbangi kerja keras terutama untuk menghadapi propaganda dan agitasi dari lawan politik.

“Jokowi-Ma’ruf Amin harus terus menerus melakukan kampanye dan merebut suara masyarakat dengan menunjukkan program yang nyata dan dapat dipahami logika masyarakat. Jangan terlena dengan unggulnya angka elektabilitas yang sudah ada,” tandasnya.