Jakarta – Ketua Komisi III DPR RI dari Fraksi Partai Golkar Bambang Soesatyo menilai bakal menjadi preseden buruk jika Presiden terus didorong-dorong melakukan intervensi proses hukum. “Apa pun alasannya, upaya sekelompok orang untuk meligitimasi campur tangan penguasa dalam proses hukum akan menghambat independensi institusi penegak hukum,” ungkap Bambang Soesatyo, hari ini.

Menurut Presidium Nasional KAHMI 2012-2017, saat sekelompok orang mendesak presiden mengintervensi proses hukum, ada beberapa kesimpulan yang langsung mengemuka dan sangat mudah untuk dicerna atau ditafsirkan. Pertama, orang-orang itu berperilaku inkonsisten. Sebab, kata dia, mereka sering menuntut agar institusi penegak hukum independen alias bebas dari tekanan mana pun.

“Konyolnya, mereka secara terbuka justru mendorong presiden melakukan intervensi,” ujar Bambang Soesatyo.

Dikatakan dia, ada contoh terbaru yang sangat relevan seperti seorang tersangka kasus korupsi proyek e-KTP menolak dipanggil Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dia beralasan, pemanggilannya harus seizing Presiden. Merespons alasan itu, pimpinan KPK mengimbau agar presiden tidak diseret-seret dalam agenda pemeriksaan KPK.

“Bak ibarat menelan ludah sendiri, inkonsistensi itu langsung menunjukan wujudnya ketika Polri mengumumkan tentang terbitnya surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) bagi dua pejabat KPK. Mereka berharap-harap Presiden memerintahkan Polri untuk menghentikan pemeriksaan kasus yang diduga melibatkan dua pejabat KPK itu,” bebernya.

Bahkan, lanjut dia, sekelompok orang menekan secara politis sambil menyuarakan kecaman kepada Presiden. Di mata mereka, kata dia, pada era Kepresidenan Jokowi, upaya pelemahan KPK paling sering dilakukan. Kedua, ketika campur tangan penguasa itu dipaksakan dengan alasan dangkal yang didramatisasi sedemikian rupa, mereka sebenarnya sedang memperjuangkan kepentingan mereka atau kelompoknya.

“Memang, kadang mereka menyuarakan alasan mengenai demi kepentingan umum. Tapi alasan itu hanya kulit,” sebutnya.

Ketiga, kata dia, kalau legitimasi intervensi penguasa terhadap proses hukum sering diulang-ulang, dia akan menjadi sebuah kebiasaan yang merusak. Tidak hanya merusak independensi institusi penegak hukum, tetapi menumbuhkan keragu-raguan terhadap kepastian hukum itu sendiri. Kalau yang mendorong legitimasi intervensi hukum itu adalah orang-orang terdidik, tentu mereka punya kepentingan tersembunyi.

“Walau pun ada kemajuan di sana sini, pelaksanaan proses penegakan hukum dewasa ini memang masih memerlukan banyak perbaikan,” ucapnya.

Karena itu, Bambang Soesatyo mengingatkan bahwa pengawasan oleh publik dinilai sangat penting dan sangat diperlukan. Namun, agar pembangunan hukum nasional tetap dalam arah yang benar dan tegak-lurus, pengawasan atau kritik publik terhadap kerja penegakan hukum hendaknya bebas dari kepentingan apa pun, apalagi kepentingan kelompok.

Sudah berulang-ulang presiden didesak oleh sekelompok orang untuk melakukan intervensi proses hukum. Paling menonjol tentu saja penyelesaian kasus yang digambarkan dengan ungkapan cicak versus buaya. Kasus ini pun sudah berjilid-jilid, dan pada setiap jilidnya selalu ada tekanan kepada presiden untuk melakukan intervensi.

“Tuntutannya sama, agar presiden memerintahkan aparat penegak hukum menghentikan proses hukum kasus yang ditangani Polri. Kalau Presiden tidak menanggapi tuntutan itu, presiden langsung dituding sebagai pemimpin yang tidak pro pemberantasan korupsi. Lebih ekstrim lagi, sering dituduh sebagai bagian dari kekuatan yang ingin melemahkan KPK,” sebutnya.

Kecenderungan itu berulang lagi dalam beberapa pekan belakangan ini. Pertama, menyangkut proses pengungkapan pelaku penyerangan terhadap penyidik KPK Novel Baswedan, dan kasus pelaporan terhadap dua pimpinan KPK ke Bareskrim Mabes karena dugaan pembuatan surat palsu. Per logika, apa yang disangkakan kepada dua pimpinan KPK itu belum tentu benar. Untuk institusi yang sangat terbuka seperti KPK, mengapa juga pimpinan KPK harus membuat surat palsu?

Namun, karena kasus dugaan surat palsu itu dilaporkan secara resmi oleh pelapor, menjadi kewajiban Polri untuk menindaklanjutinya. Setelah memeriksa enam saksi dan ahli, Direktorat Tindak Pidana Umum Badan Reserse Kriminal (Dittipidum Bareskrim) meningkatkan status kasus ini ke tahap penyidikan. SPDP pun diterbitkan pada pekan pertama November 2017.

Respon Polri yang sebenarnya prosedural ini pun langsung dikecam sebagai manuver memperlemah KPK. Oleh sekelompok orang, Presiden pun didorong untuk memerintahkan Polri menghentikan penyidikan kasus ini. Entah sadar atau tidak, orang-orang idealis itulah yang sebenarnya melakukan intervensi proses hukum tetapi dengan cara yang sama sekali tidak elegan alias pengecut, yakni berupaya menggunakan wewenang presiden.

Sementara dalam kasus Novel, Polri kembali menjadi sasaran rasa tidak percaya sekelompok orang. Mereka lalu mendesak Presiden untuk membentuk Tim Pencari Fakta (TPF). Bagi mereka, persoalan-persoalan seperti itu harus ditangani langsung oleh presiden.

“Cara pikir yang sulit dipahami dengan akal sehat. Dengan cara pikir seperti itu, yang lebih terlihat justru kecenderungan perilaku politis ketimbang idealisme mereka bagi penegakan hukum itu sendiri,” terangnya.

Rumah Kaca

Kecenderungan paling gila yang tidak jelas tujuannya adalah upaya sejumlah orang untuk menempatkan KPK dalam rumah kaca demi tumbuhnya persepsi bahwa KPK adalah institusi yang bersih dari noda dosa. Tidak boleh dikritik, pun tak boleh disentuh oleh apa pun. KPK harus berjalan sesuai keinginan sejumlah orang itu. Mereka memanjakan KPK dengan cara yang sama sekali tidak masuk akal. Ingin menjadikan KPK institusi yang kebal atau punya imunitas. Masyarakat pun dicekoki dengan persepsi bahwa KPK itu tidak pernah bisa berbuat salah. Karena itu, mereka tidak mengecam ketika ada oknum dari dalam KPK yang membocorkan status tersangka seseorang, kendati institusi KPK belum mengumumkannya secara resmi.

Pada saat bersamaan, orang-orang yang sama terus merendahkan martabat institusi penegak hukum lainnya, sekalipun institusi-institusi itu berstatus permanen sebagai instrumen negara dan pemerintah. Bagi mereka, untuk kerja atau perang melawan korupsi, hanya KPK yang layak di percaya. Bukan Polri, bukan juga Kejaksaan Agung RI. Mereka bahkan cenderung menolak untuk mengapresiasi perbaikan-perbaikan internal yang sudah dilakukan institusi-institusi permanen itu. Mereka mencibir inisiatif Polri membentuk Detasemen Khusus Tindak Pidana Korupsi (Densus Tipikor).

Kecenderungan seperti ini tidak bisa dibiarkan karena akan merusak tatanan. Negara tidak boleh tunduk pada tekanan segelintir orang itu. Negara cq Pemerintah harus berpendirian teguh. KPK adalah institusi negara dan karenanya harus bekerja dan berfungsi menurut Undang-undang. KPK tidak boleh bekerja berdasarkan pesanan atau tekanan dari pihak mana pun. KPK juga tidak boleh memobilisasi kekuatan pihak-pihak tertentu untuk menekan lembaga tertinggi dan lembaga tinggi negara. Sudah bukan rahasia lagi bahwa KPK sering memobilisasi kelompok-kelompok tertentu untuk mendiskreditkan pemerintah dan DPR melalui rentetan pernyataan di ruang publik. Ada sikap tidak ksatria yang sudah lama terlihat.

Begitu juga ketika KPK menyikapi SPDP Bareskrim Polri terhadap dua pejabatnya. Pertanyaannya adalah kalau memang bersih alias tidak bersalah, mengapa harus takut berlebihan untuk sekadar menjalani pemeriksaan oleh Polri? Bagaimana pun, mendorong Presiden untuk memerintahkan Polri menghentikan penyidikan adalah cerminan takut yang sangat berlebihan. Pun tidak ksatria.

Padahal, para penegak hukum sering mengimbau masyarakat agar jangan takut menanggapi panggilan untuk menjalani pemeriksaan. Kalau yakin tidak bersalah, mengapa juga pejabat KPK harus bersembunyi di belakang presiden setiap kali dipanggil menjalani pemeriksaan oleh institusi penegak hukum lainnya?

“KPK memang sudah bekerja keras. Tetapi, hasilnya masih jauh dari memuaskan. Maka, jangan minta diperlakukan khusus atau dimanja oleh negara,” pungkasnya.

Temukan juga kami di Google News.