Jakarta – Dewan Pembina Jaringan Aktivis Reformasi Indonesia (JARI’98) KH. Dirwan Dachri berharap ada penanggulangan untuk mengatasi gempuran maraknya TKI Non Prosedural saat ini.

Menurut Dirwan, strategi menanggulangi di hulu, di dalam negeri akan sangat jauh lebih baik dari pada jika sudah terjadi di luar negeri. Kata dia, lebih baik anggaran penanggulangan dan/atau pemulangan WNI Bermasalah ini kemudian dapat dialihkan pada sektor mikro untuk membuka lapangan kerja baru di Indonesia, atau pemberdayaan untuk menjadi eks TKI mandiri.

“Cukup sudah cerita 21 TKI asal NTT yakni 19 ilegal dan hanya 2 yang sah meninggal saat bekerja di Malaysia dalam 2 bulan ini atau kisah Sarafiah TKI asal Dompu, NTB pemegang Paspor pelancong dan menjadi korban perdagangan manusia atau trafficking yang dibunuh majikannya di Dubai, UEA. Jangan lagi biarkan para pelaku menari ditengah derita para TKI non prosedural yang dikirim atau sulitnya pemerintah memberikan perlindungan bagi mereka,” kata Dirwan, Minggu (9/4).

Dikatakan Dirwan, keberangkatan buruh migran tanpa prosedur yang tepat bisa membahayakan keselamatan. Selain rentan eksploitasi, juga Kementerian Luar Negeripun kesulitan membantu penyelesaian masalah para buruh non prosedural tersebut.

“Kita berharap upaya seperti ini dapat segera memberikan kontribusi percepatan permasalahan dan pencegahan TKI non prosedural,” ucap dia.

Lebih lanjut, Dirwan mengakui bahwa penanganan terbaik adalah pencegahan di hulu, begitu semangat rembugan instansi terkait yang saat ini tengah menyusun konsep pencegahan TKI non prosedural antar Kementerian Lembaga (K/L) dan terpadu. Sudah cukup lama beban penanganan ketika permasalahan TKI non prosedural dan dampak lainnya terjadi ketika sudah di luar negeri oleh Perwakilan Republik Indonesia.

Selain itu, kata dia, Pemerintah RI melalui Kementerian Luar Negeri tidak sedikit menganggarkan dalam APBN maupun APBNP pemulangan TKI non prosedural ini melalui kerangka pemulangan WNI Bermasalah (WNI-B) tiap tahunnya, khususnya untuk negara yang menjadi titik rentan TKI bermasalah khususnya seperti Malaysia, Hong Kong, Taiwan, dan negara-negara di Timur Tengah (Saudi Arabia, Uni Emirat Arab, Qatar dan lainnya).

“Melindungi segenap bangsa memang merupakan amanat Konstitusi Alinea IV Pembukaan UUD 1945, dan memberikan perlindungan WNI dalam kondisi apapun merupakan perintah Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri sangat disadari betul oleh negara ini,” bebernya.

Namun, kata dia, ironisnya di sisi lain para pengirim TKI non prosedural tidak sedikit yang menikmati betul dengan memanfaatkan perhatian bangsa atau pemerintah untuk melindungi WNI-nya termasuk mereka yang terjerat sebagai TKI non prosedural. Para pemain ini seolah tahu dan paham, bahwa tiap tahunnya dan kapan waktunya Pemerintah RI akan turun tangan untuk membiayai pemulangan WNI bermasalah sehingga tahu kapan juga mereka harus bergerak dan meloloskan bagaimanapun caranya untuk TKI non procedural ini dan segera mendapatkan bayaran keuntungan dari negara yang dituju.

Setelah itu, lanjutnya, apabila ada masalah, “serahkan saja kepada Perwakilan RI dan Pemerintah”, mungkin begitu pikirnya.

“Genderang perang terhadap pelaku harus digalakkan dengan pencegahan TKI non prosedural terbaik oleh intansi terkait bersama dan sinergis,” ujarnya.

Serta, tambah dia, perlu adanya penanganan penegakan hukum terbaik. Tidak lagi sekarang cukup hanya perusahaan pengerah tenaga kerja Indonesia swasta (PPTKIS) jika terbukti terlibat diberikan sanksi pencabutan izin operasional, namun secara korporasi dengan pemidanaan perdagangan orang atau penyelundupan manusia sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

“Pimpinan perusahaan yang terbukti dapat dicabut haknya memiliki Paspor RI dan bepergian keluar negeri, dan juga pihak pengguna di luar negeri untuk dapat ditangkal masuk ke Indonesia,” tandasnya.

Temukan juga kami di Google News.