Jakarta – Indonesia Law Reform Institute (ILRINS) menilai gelar perkara secara terbuka yang akan dilakukan oleh Polri terkait kasus dugaan penistaan agama yang dituduhkan kepada calon Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahja Purnama alias Ahok bisa dijadikan suatu terobosan baru bagi proses penyelidikan / penyidikan dalam sistem hukum acara pidana di Indonesia.

“Saat ini beberapa peneliti ataupun pengamat maupun politisi berpendapat bahwa gelar perkara secara terbuka tidak memiliki dasar hukum bahkan dianggap melanggar asas due process of law, menurut saya pendapat itu sangatlah keliru, sebab gelar perkara adalah merupakan bagian dari satu kesatuan proses yang bertujuan untuk memberikan kepastian hukum atas sebuah kasus dan sekaligus menjadi ruang klarifikasi bagi pelapor dan terlapor serta masyarakat yang mempunyai kepentingan dalam kasus tersebut,” ungkap Direktur Eksekutif ILRINS Jeppri F Silalahi, Rabu (9/11/2016).

Dijelaskan dia, gelar perkara bisa dilakukan dalam tahap penyelidikan, karena penyelidikan merupakan tindakan tahap permulaan bagi penyidikan dan merupakan salah satu cara dan bersifat kehati-hatian dalam penyidikan. Sebab dari gelar perkara ini lah nantinya dapat ditentukan apakah pernyataan Ahok yang dituduhkan pelapor merupakan tindak pidana penistaan agama atau bukan dikupas secara objektif dan jelas dengan meminta pandangan beberapa ahli agar penyidik menetapkan status hukum seseorang tidak berdasarkan intervensi pimpinan maupun tekanan dari pihak-pihak lain nya.

“Gelar perkara ini kan juga pertimbangannya jelas sudah diatur dalam Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2012 Pasal 69 huruf (b) juncto Pasal 71 ayat 2 huruf (b) yakni kasus yang menjadi perhatian publik secara luas,” tutur dia.

Walaupun, kata dia, tidak diatur dan disebutkan dalam pasal tersebut gelar perkara secara terbuka bukan berarti tidak boleh dilakukan. Dalam hukum ada asas legalitas, yang pada prinsipnya jika dilakukan bukan lah pelanggaran atau di haramkan kecuali ada ketentuan dan peraturan yang melarangnya.

“Jika kita cermati sebenarnya gelar perkara terbuka ini adalah merupakan jawaban dari kepolisian untuk memenuhi tuntutan para pihak yang menginginkan kasus ini segera di proses semenjak dilaporkan ke Mabes Polri pada tanggal 7 oktober 2016 lalu,” paparnya.

Dan, kata dia, pada tanggal 10 Oktober 2016 Ahok menyampaikan permintaan maaf secara terbuka dan menjelaskan tidak ada maksud melecehkan agama Islam atau apapun. Agar menghindari polemik yang berkepanjangan atas inisiatif sendiri Ahok pada tanggal 24 Oktober 2016 mendatangi Bareskrim untuk memberikan keterangan sebagai bentuk klarifikasi soal ucapan nya yang mengutip Surat Al Maidah ayat 51.

Akan tetapi pada tanggal 4 November 2016 terjadi demonstrasi besar-besaran untuk mendesak kembali dan menuntut agar proses hukum Ahok segera diselesaikan dengan segala ancaman yang di tujukan kepada Presiden Jokowi.

“Lalu yang menjadi pertanyaan kenapa ada kelompok-kelompok dan politisi yang kader partai nya ikut menuntut penyelesaian segera terhadap kasus Ahok ini justru menolak untuk di gelar perkara secara terbuka? menurut saya ini aneh, apakah mereka juga beranggapan bukti-bukti yang diajukan pelapor sangat lemah sehingga takut digelar secara terbuka dihadapan publik atau sengaja ingin memanfaatkan kasus ini semata demi kepentingan politik pihak tertentu,” jelasnya.

Lebih lanjut, Jeppri mengaku sangat mengapresiasi dan mendukung Kapolri Jendral Tito Karnavian yang cepat merespon untuk menyelesaikan kasus tuduhan penistaan agama ini, agar meminimalisir ruang politisasi kasus ini dari kepentingan kepentingan politik yang tak bertanggung jawab. Karena kasus tuduhan penistaan agama ini luar biasa menjadi perhatian publik, maka sudah sewajarnya dan sebaiknya polri melakukan gelar perkara yang tidak biasa, yakni gelar perkara secara terbuka agar publik dapat menilai kasus ini. Dan disisi lain momentum ini juga dapat digunakan untuk memperlihatkan bahwa polri akuntabel, profesional, modern, terpercaya sehingga dapat menghindari tuduhan negatif dikemudian hari.

“Dan saya mengingatkan kembali kepada semua pihak agar menghormati bagian proses hukum ini. Bahwa negara Indonesia adalah negara hukum (Rechtstaat) bukan negara main hukum sendiri,” tandasnya.

Temukan juga kami di Google News.