Jakarta – Perang survei sudah muai terlihat jelang pelaksanaan pilkada serentak khususnya di Pilkada DKI Jakarta. Sejumlah lembaga survei pun mulai sibuk mengukur elektabilitas tiga pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur DKI yakni Anies-Sandi, Agus-Sylviana, dan Ahok-Djarot.

Tidak bisa dipungkiri juga banyak hasil survei berbeda-beda dan cenderung mengarah dan memoles ke salah satu calon gubernur untuk Pilkada DKI Jakarta. Terlebih lagi, hasil survei tersebut umumnya mengarahkan opini masyarakat.

Kecenderungannya survei yang ada saat ini tidak hanya sebagai studi untuk menggambarkan fakta di lapangan, tetapi cenderung sebagai alat untuk kampanye terselubung, dan mengarahkan opini masyarakat. Karenanya, masyarakat bisa menilai sendiri mana lembaga survei yang memang benar profesional dan mana lembaga survei yang terindikasi dalam permainan opini dan kampanye terselubung.

Berikut lembaga survei yang sudah merilis masing-masing paslon memperebutkan Kursi No. 1 & 2 DKI :

Survei LSI Denny JA, Ahok Berpotensi Keok

Usai tiga paslon mendaftarkan dirinya ke KPUD DKI, lembaga survei mengatasnamakan Lingkaran Survei Indonesia (LSI) pimpinan Denny JA mulai menerbitkan hasil survey terbarunya, dimana didalamnya terdapat data yang menyebutkan potensi kekalahan Petahana Basuki Tjahaja Purnama di Pilgub DKI 2017 mendatang.

Survei itu pun diambil pasca-pendaftaran pasangan calon ke KPUD, tepatnya 28 September sampai 2 Oktober 2016. Hal yang mengejutkan lainnya dari hasil survei tersebut adalah anjloknya elektabilitas dan tingkat kesukaan masyarakat kepada sosok Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok.

Dari survey yang dilakukan sebelumnya pada Juli sebesar 49,1 persen, elektabilitas Ahok kini hanya 31,4 persen. Sementara, kejutan itu datang dari dua pasangan calon lain. Pasangan Anies Rasyid Baswedan-Sandiaga Salahudin Uno dan Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni. Masing-masing memiliki elektabilitas 21,1 persen dan 19,3 persen.

“Dari tiga kali survey, elektabilitas Ahok terus menurun. Pertama, pada Maret elektabilitasnya mencapai 59,3 persen dan Juli mencapai 49,1 persen. Ahok di bulan Oktober bukanlah Ahok beberapa bulan lalu,” ungkap peneliti LSI Adjie Alfaraby saat merilis hasil survey di kantor LSI Rawamangun, Selasa (4/10).

Penurunan elektabilitas Ahok, lanjut Adji selaras dengan penurunan tingkat kesukaan masyarakat terhadap petahana yakni sebesar 58,2 persen atau turun dari survey Maret yang mencapai 71,3 persen.

“Di luar dugaan, elektabilitas dua pasangan calon lain justru meningkat. Ini membuat pertarungan pilkada akan ssmakin seru. Karena tidak ada lagi pasangan yang sangat kuat atau sangat lemah. Pembagian suara sudah merata,” katanya.

Survey melibatkan 440 responden dengan teknik wawancara tatap muka. Riset dilakukan dengan metode multi-stage random sampling dengan margin of eror 4,8 persen. Adapun jumlah responden yabg menyatakan tidak tahu mencapai 28,2 persen. Survey ini dibiayai dengan dana LSI sendiri.

Populi Center Mentahkan Survei LSI

Sementara itu, tak berselang beberapa hari LSI merilis Ahok berpotensi keok di Pilkada DKI, lembaga survei lainnya Populi Center pun membalasnya dengan merilis yang serupa versi penelitiannya. Kali ini riset lembaga survei Populi Center menemukan masih tingginya elektabilitas Ahok-Djarot sebagai pasangan bakal calon petahana. Hal ini pun secara tidak langsung membantah hasil survei LSI.

“Jika Pilkada DKI dilakukan hari ini, pasangan Basuki-Djarot meraih 45,5 persen, Anies-Sandiaga 23,5 persen, Agus-Sylviana 15,8 persen. Sedangkan belum memutuskan/masih ragu-ragu 12,5 persen dan tidak menjawab 2,7 persen,” tegas peneliti Populi Center Nona Evita, kemarin.

Selain itu, dalam pertanyaan siapa yang paling pantas dipilih menjadi Gubernur, menurut hasil surveinya, Ahok masih tetap di urutan pertama diikuti Anies dan Agus.

“Basuki Tjahaja Purnama meraih 43,7 persen. Anies Baswedan 24,5 persen dan Agus Harimurti 16,3 persen. Belum memutuskan/ragu-ragu sebesar 12,8 persen dan tak menjawab 2,7 persen,” tandas Evita.

Penelitian ini dilakukan pada 25 September-1 Oktober 2016 dengan multistage random sampling, mulai dari kelurahan hingga RT di wilayah Jakarta Utara, Jakarta Selatan, Jakarta Pusat, Jakarta Timur dan Kepulauan Seribu. Margin of error survei dengan 600 responden ini adalah plus minus 4 persen.

Survei KedaiKOPI: Agus Kuda Hitam Calon Alternatif

Hal berbeda pula dilakukan oleh lembaga survei KedaiKOPI (Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia) yang menyebut munculnya calon alternatif gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta, seperti Agus Harimurti Yudhoyono dan Sylviana Murni yang populer di masyarakat, secara tidak langsung bakal menurunkan level kepercayaan terhadap petahana Basuki Tjahja Purnama alias Ahok-Djarot Saiful Hidayat.

“Biasanya memang bila calon alternatif yang muncul adalah sosok yang juga populer dan kuat, maka level kepercayaan ke petahana akan berkurang. Bahkan bisa terus terpuruk,” kata Hendri, kemarin.

Hendri juga menilai Agus-Sylviana layak disebut sebagai “kuda hitam”. Sebab, pasangan itu unggul di beberapa polling di media sosial. Ada beberapa faktor yang membuat pasangan Agus-Sylviana Murni harus diwaspadai pasangan cagub-cawagub lainnya pada Pilkada DKI 2017. Hendri mengatakan dukungan untuk Agus-Sylviana utamanya berasal dari partai pendukung.

Selain itu, Sylviana Murni ia nilai bisa menjadi sosok yang menarik suara dari kalangan birokrat. Pasalnya, Sylviana merupakan birokrat Pemprov DKI yang lebih lama daripada Ahok-Djarot. Faktor kedua adalah daya tarik Agus yang merupakan putra Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono.

“Pesona SBY yang turun di Agus ini pasti enggak dilupakan masyarakat. Orang Jakarta ini kan mudah lupa, mudah memaafkan, dan suka nostalgia. Suka nostalgianya ini yang dimanfaatkan. Jadi memang Agus ini layak jadi ‘kuda hitam’,” ujar Hendri.

Bahkan, kata Hendri, menurut hasil survei Kedai Kopi, September 2016 lalu, 82 persen publik Jakarta percaya petahana bisa kalah.

“Jadi, bila trennya terus turun maka petahana mesti segera bersiap turun tahta,” ujarnya.

Dalam rilis surveinya September 2016 lalu menyebutkan calon alternatif yang muncul pada Pilkada Jakarta 2017 nanti bisa mengalahkan calon petahana, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok.

“Dari 400 responden, sebanyak 82,8 persen berpendapat demikian. Ini meningkat dari hasil survei Agustus lalu yang hanya berada di angka 74 persen,” kata dia.

Menurut Hendri, masyarakat Jakarta memang kerap menghadirkan kejutan untuk urusan pilkada. “Mereka tampaknya menanti calon alternatif untuk maju melawan petahana. Ada kejenuhan tampaknya pada calon petahana,” dia menambahkan.

Selain itu, tren penurunan juga terjadi pada tingkat kepuasan publik terhadap kinerja pemerintahan Ahok-Djarot di Jakarta. Tingkat kepuasan publik turun‎ tipis menjadi 67,3 persen, setelah sebelumnya berada di level 70 persen.

“Penurunan ini menjadi alarm bagi petahana,” ujar Hendri yang mengajar mata kuliah Komunikasi Politik dan Opini Publik di Universitas Paramadina.

Survei ini digelar pada 2-5 September 2016 dengan metode wawancara tatap muka. Ada 400 responden yang terlibat pada survei yang tersebar secara proporsional di 40 kelurahan di enam kabupaten/kota di seluruh DKI Jakarta.

Pemilihan sampel menggunakan metode sampel ‎acak bertingkat dengan margin of error (MOE) sekitar 4,9 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen.

Lembaga Survei Harus Diatur Sistematis

Menanggapi perang lembaga survei, Wakil Ketua Komisi Dalam Negeri DPR Ahmad Riza Patria pun mengusulkan, agar lembaga survei dapat diatur lebih sistematis. Menurut dia, hal itu diperlukan karena ada lembaga survei yang digunakan untuk menggalang opini publik bukan menyajikan fakta.

“KPU (Komisi Pemilihan Umum) belum ada aturan mengenai lembaga survei kecuali lembaga pemantau, ke depannya memang harus transparan,” kata Riza.

Riza berharap lembaga survei bisa terjamin independensinya.

“Jangan sampai pimpinan lembaga tersebut justru merangkap sebagai konsultan politik,” ucap dia.

KPU Minta Lembaga Survei Netral

Komisi Pemilihan Umum (KPU) DKI Jakarta pun mengingatkan agar lembaga survei bisa bersikap netral. Ketua KPUD DKI Sumarno, menghimbau agar lembaga survei tidak boleh menjadi corong politik.

“Prinsipnya lembaga survei itu harus netral, independen, tidak boleh berpihak, tidak boleh jadi corong perpanjangan kepentingan politik,” ujar Sumarno.

Pasalnya, aturan tersebut tercantum dalam Peraturan KPU Nomor 5 Tahun 2015 tentang Sosialisasi dan Partisipasi Masyarakat dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota.

Pasal 43 ayat 1 huruf e PKPU tersebut menyebutkan, lembaga survei tidak boleh berpihak, menguntungkan, atau merugikan peserta pilkada. Lembaga survei juga tidak boleh mengganggu tahapan pilkada, tetapi harus meningkatkan partisipasi masyarakat secara luas, mendorong terwujudnya suasana kondusif, aman, tertib, dan lancar.

Lembaga yang melakukan survei, baik tentang perilaku pemilih, hasil pemilihan, kelembagaan pemilihan, maupun pasangan cagub-cawagub, harus mendaftar ke KPU DKI Jakarta dengan memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu. Hal itu tertuang dalam Pasal 43 ayat 2.

Pendaftaran tersebut paling lambat dilakukan 30 hari sebelum pemungutan suara. Lembaga survei juga harus memberitahukan sumber dana, metodologi, jumlah responden, serta pelaksanaan survei tersebut. Hasilnya pun harus dilaporkan ke KPU dengan menyerahkan salinan hasil survei.

Apabila lembaga survei tidak mematuhi PKPU tersebut, ada sanksi yang akan diberikan.

“Tapi sanksinya bukan dari KPU, dari asosiasi lembaga survei. KPU tidak punya otoritas itu,” kata Sumarno.

Dari rentetan pernyataan tersebut, survei hanyalah salah satu alat ukur dalam menentukan pilihan. Semua terpulang kepada mereka yang memiliki hak pilih dalam Pilkada Gresik 2015. Selamat memilih!

Temukan juga kami di Google News.