Jakarta – Peneliti Institute for Ecosoc Rights (IER) Sri Palupi menanggapi tulisan Guntur Romli “Penggusuran Paksa Itu Bukan Relokasi, Guntur Romli!”. Sri menilai penggusuran paksa sebagai relokasi itu adalah kebohongan publik. Seorang Guntur Romli, yang mengaku sebagai penulis, beberapa waktu lalu mengunggah tulisan di Indonesiana dengan judul “Ahok: Dari Penggusuran ke Relokasi.” Judulnya menampakkan kesan sebuah artikel yang bersandar pada hasil kajian. Namun nyatanya judul dan isinya tak bersesuaian.
“Isinya sangat kental dengan propaganda seorang juru kampanye yang terlatih dalam mengumbar janji. Semua pernyataan yang ia sampaikan sama sekali tak didukung data. Ia menyandarkan argumennya hanya pada asumsi dan janji-janji Gubernur DKI tanpa ada dukungan bukti,” ungkap Sri, Selasa (6/9/2016).
Sri mengaku bisa memahami mengapa seorang Guntur Romli menulis tanpa dukungan data meskipun substansi yang ia tulis menuntut adanya data. Sebab, kata Sri, Guntur sendiri tak bergelut dengan isu kota dan kemiskinan, sehingga pengetahuan, pemahaman dan otoritasnya untuk menulis tentang persoalan kota dan penggusuran juga sangat diragukan.
“Ini terbukti dari kualitas argumennya yang tumpul dan mudah dipatahkan oleh data,” tuturnya.
Pertama, kata Sri, Guntur menegaskan bahwa kritik terhadap penggusuran dilakukan oleh lawan politik Ahok karena penggusuran oleh Pemprov DKI dilakukan menjelang Pilkada. Pernyataannya ini berangkat dari asumsi, kritik terhadap kebijakan penggusuran hanya terjadi saat Pilkada dan hanya dilakukan oleh mereka yang anti pada calon gubernur yang didukungnya. Guntur berasumsi, semua orang seperti dirinya, yang memuji dan mengkritik hanya dalam kerangka “politik rebutan jabatan” alias Pilkada. Ia menghapus keberadaan orang-orang yang selama ini mendorong demokrasi dan keadilan ruang kota serta menolak penggusuran paksa oleh siapapun dan di manapun tanpa mempedulikan Pilkada.
“Kedua, ia menyatakan bahwa baginya apa yang dilakukan Pemprov DKI bukanlah penggusuran karena penggusuran hanya berakibat penduduknya dibiarkan terlantar. Sementara, yang dilakukan Pemprov DKI adalah relokasi. Saya yakin, ia tak tahu berapa KK sudah digusur dan berapa KK yang tertampung dalam rusun. Padahal berbagai kajian dan data lapangan terkait penggusuran bertebaran dan mudah sekali diakses. Tapi tak satu pun data ia gunakan. Berbagai data membuktikan, penggusuran yang dilakukan Pemprov DKI menciptakan penelantaran,” papar Sri.
Sri melanjutkan, hasil kajian yang dilakukan LBH Jakarta, misalnya, menunjukkan, sepanjang 2015 terdapat 113 kasus penggusuran paksa di Jakarta dengan korban 8.145 KK dan 6.283 unit usaha. Dari jumlah kasus tersebut, 72 kasus (63 persen) tidak ada solusi bagi warga korban. Kasus yang mendapat solusi pun tidak semua warga terdampak mendapatkannya. Seperti yang terjadi pada penggusuran Kampung Pulo, dari 1.041 KK korban gusuran, hanya 500 KK yang tertampung di rumah susun. Sebagian besar lainnya tidak jelas nasibnya. Penelitian Gusti Ayu Ketut Suartiani (peneliti LIPI) juga menunjukkan, tidak semua korban gusuran tertampung di rumah susun.
Yang terpaksa dan dipaksa pindah ke rumah susun pun mengalami penelantaran dalam bentuk proses pemiskinan yang dibiarkan tanpa solusi. Berbagai liputan jurnalistik terhadap kondisi warga di rusun melaporkan hal yang sama, yaitu terjadinya pemiskinan pada penghuni rusun akibat kehilangan pekerjaan dan tempat usaha. Dampaknya, mereka tak mampu membayar sewa dan terancam digusur dari rusun. Di Rusun Jatinegara, misalnya, ada 149 warga yang mendapat surat peringatan karena menunggak pembayaran uang sewa hingga 6 – 8 bulan. Hal serupa dialami oleh banyak warga di berbagai rusun, seperti rusun Daan Mogot, dari 640 KK terdapat 206 KK yang menunggak hingga 6-8 bulan, rusun Cipinang Besar, Rawa Bebek dan lainnya. Bahkan ada rusun yang warganya benar-benar mengalami kelaparan hingga menggerakkan kalangan menengah untuk memberikan bantuan makanan.
“Ketiga, dalam tulisannya Guntur Romli menyatakan, tinggal di rumah rusun lebih baik daripada tinggal di tempat sebelumnya yang kumuh karena rusun dilengkapi fasilitas-fasilitas di dalamnya, diberi KJP, bus gratis, modal dan lapak dagangan. Karena tulisannya untuk propaganda dalam rangka Pilkada, maka uji lapangan tidak diperlukan. Si penulis menelan mentah-mentah janji Pemprov DKI pada korban gusuran. Faktanya, banyak janji yang diberikan Pemprov DKI tidak sesuai kenyataan,” bebernya.
Warga rusun Jatinegara Barat, misalnya, dijanjikan mendapatkan rusun yang dilengkapi fasilitas tempat tidur, lemari dan peralatan lainnya. Namun yang mereka dapatkan adalah ruangan kosong yang banyak bocor saat musim hujan. Kamar mandi dan wastafel airnya merembes ke lantai. Sebelum penggusuran warga juga dijanjikan bebas bayar sewa selama 6 bulan. Nyatanya, bebas bayar sewa berlaku hanya untuk 3 bulan. Setelah tiga bulan, warga menghadapi kehidupan yang jauh lebih berat daripada sebelumnya. Banyak warga mengaku, kehidupan sosial ekonomi di tempat kumuh jauh lebih baik karena di sana mereka memiliki pekerjaan, tempat usaha, solidaritas antar warga dan ruang cukup untuk bermain dan bermasyarakat. Rusun memang menyediakan tempat berdagang, namun pembelinya adalah sesama penghuni rusun yang sama-sama miskin dan kesulitan keuangan. Warga penghuni rusun banyak yang tidak bisa mengakses kebijakan Pemprov DKI, seperti KJP, karena tak memenuhi persyaratan. Meskipun Pemprov DKI menyediakan KJP dan sarana transportasi gratis, namun banyak anak korban gusuran tak bisa mengakses KJP karena mereka sudah putus sekolah duluan. Tak ada program pendidikan untuk anak-anak seperti ini.
“Keempat, Guntur Romli menegaskan, yang dilakukan Pemprov DKI terhadap warga miskin bukanlah penggusuran melainkan relokasi yang tidak melanggar undang-undang. Sayangnya, pemahamannya tentang apa yang disebut relokasi dan penggusuran hanya didasarkan pada asumsi. Tak ada dasar atau acuan yang sahih. Padahal sebagai pejuang pluralisme dan hak asasi manusia, saudara Guntur Romli mestinya tahu bahwa Indonesia sejak 2005 telah meratifikasi instrumen internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, Budaya melalui Undang-Undang Nomor 11 tahun 2005, yang salah satu pasalnya menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan perumahan yang layak,” bebernya.
Terkait dengan hak atas perumahan tersebut, Komisi HAM PBB memasukkan penggusuran paksa dalam kategori pelanggaran berat hak asasi manusia melalui resolusi Nomor 24 tahun 2008. PBB juga mengeluarkan panduan dan prinsip agar penggusuran dan pemindahan atas nama pembangunan tidak melanggar HAM. Menurut panduan tersebut, relokasi dan penggusuran dibenarkan dan tidak disebut sebagai pelanggaran berat HAM apabila memenuhi ketentuan, di antaranya (a) tak ada alternatif lain selain penggusuran, (b) adanya konsultasi publik dan musyawarah antara warga tergusur dan pemerintah untuk menghindarkan penggusuran dan meminimalkan resiko, (c) dilakukan semata-mata untuk meningkatkan kesejahteraan, (d) ada kompensasi dan rehabilitasi yang adil dan menyeluruh, (e) dilakukan tanpa kekerasan dan sesuai norma hak asasi manusia, (f) tidak membuat kehidupan warga memburuk. Nah, fakta-fakta terkait penggusuran yang dilakukan Pemprov DKI tak satupun yang memenuhi kriteria untuk tidak disebut sebagai pelanggaran berat HAM. Bahkan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI masih terikat kontrak politik dengan warga miskin DKI, yang salah satu isinya menegaskan komitmen Gubernur dan Wakil Gubernur untuk tidak memilih jalan penggusuran melainkan perbaikan dan penataan. Artinya, dengan kontrak politik itu Gubernur dan Wakil Gubernur mengakui adanya alternatif lain yang bisa dilakukan tanpa harus menggusur apalagi menggusur paksa.
Kajian yang dilakukan LBH Jakarta menyebutkan, dalam pasal 1963 junto 1967 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata diatur tentang hak warga yang sudah menduduki tanah/lahan selama 30 tahun atau lebih untuk mengajukan kepemilikan tanah. Kepemilikan tanah bisa diperoleh melalui pemberian lahan oleh negara atau mengajukan permohonan sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24/1997 tentang Pendaftaran Tanah. Ini menegaskan adanya alternatif lain yang jauh lebih manusiawi ketimbang penggusuran paksa. Kalau pemerintah selama ini gencar memberikan hutan lindung, daerah resapan air atau ruang terbuka hijau dan bahkan pulau pada pengembang untuk membangun mall, hotel dan rumah mewah, kenapa pemerintah enggan memberikan hak atas secuil lahan untuk kaum miskin? Yang tidak saya pahami adalah mereka yang sepatutnya berdiri di pihak yang lemah dan berjuang mewujudkan demokrasi dan keadilan ruang justru membela kebijakan yang tidak adil dan diskriminatif.
“Akhir kata, kebijakan Pemprov DKI yang sesuai konstitusi dan tidak melanggar hak asasi adalah menggeser, bukan menggusur. Perbaikan, bukan penghancuran. Pengakuan atau pemberian hak, bukan perampasan. Jadi, menyebut penggusuran paksa sebagai relokasi itu adalah kebohongan publik yang sangat jahat. Sebab kebohongan itu menghilangkan hak korban untuk mendapatkan hak-haknya,” tandasnya.
Tinggalkan Balasan