Jakarta – Hari buruh sedunia merupakan tonggak sejarah perjuangan massa buruh, yakni tepat pada tanggal 1 Mei 1872 di Kanada. Dan tepat hari ini, buruh sedunia akan memanfaatkan kesempatan tersebut untuk merayakan hari jadinya, terutama di Indonesia hari buruh mendapatkan perlakuan khusus dan dijadikan hari libur.

Gerakan Manusia Pancasila (Gempa) pun menyoroti gerakan buruh di Indonesia yang bakal pada 1 Mei akan merayakan May Day dengan melakukan aksi turun kejalan dan ribuan manusia tumpah ruah ke jalanan. Ketum Gempa Willy Prakarsa justru mengajak kaum buruh bahwa sudah saatnya perayaan May Day pada 2016 yang jatuh pada hari Minggu (libur) ada perubahan dari May Day tahun sebelumnya.

Willy kembali mengingatkan serikat-serikat buruh untuk bekerjasama menyatukan gerakan bersama yakni dengan melakukan kegiatan positif yang bersifat sosial kemanusiaan untuk memberikan kepercayaan kepada masyarakat.

“Pergerakan buruh tidak lagi dilakukan melalui unjuk rasa atau turun langsung ke jalan raya. Apalagi saya ingatkan, ini hari Minggu dan hari libur, jika mau datangi Istana Negara, atau DPR lantas siapa yang mau menemui. Pikir secara logika belum ketemu juga. Jangan-jangan aksi buruh ini cuma sebagai praktek pencucian uang dari anggaran anggotanya untuk serikat,” tegas Willy, Sabtu (30/4/2016).

Kata dia, alangkah baiknya jika membangun gerakan massa buruh yang kuat dan tetap konsisten dengan melakukan kegiatan sosial kemanusian untuk memperjuangkan kesejahteraan buruh. Jadi, kata Willy, tanpa mengesampingkan dan mengganggu ketertiban yang jadi visi dari perayaan May Day 2016 tersebut.

“Harusnya kita bersyukur dan tetap menjalin silaturahmi yang erat antara buruh dengan masyarakat, dan buruh dengan pengusaha,” jelas dia.

Lebih lanjut, Willy meminta agar tidak menciderai hari buruh dengan kegiatan yang ditumpangi kepentingan politik oleh orang-orang yang tak bertanggung jawab. “Bebaskan buruh dari belenggu politik yang membela kaum kapitalis,” terang dia.

Dikatakan Willy, perayaan kali ini bukan lagi sebagai alat politik bagi kaum-kaum kapitalis seperti tahun-tahun sebelumnya.

“Mari kita saling intropeksi diri dan mengingatkan kepada seluruh buruh bahwa perjuangan kita harus bersih dari pengaruh politik,” ucap dia.

Willy tidak memungkiri bahwa banyak oknum tokoh politik ikut memanfaatkan momentum May Day. Mulai dari yang mencari popularitas, keuntungan finansial, dukungan massa yang ujung-ujungnya hanya demi kepentingan pribadi.

“Sudah sadarkah kita sebagai seorang buruh yang susah payah mencari nafkah, tapi sekian banyak jerih payah kita justru dimanfaatkan oleh orang-orang yang hanya duduk manis diatas singgasana,” tuturnya.

Willy melanjutkan, kisruh tentang masalah perburuhan sudah sangat menjamur dirangkaian gejolak negeri ini. Hal ini nampak terlihat dari aksi-aksi demo buruh yang terus menerus berlangsung bahkan menjadi tradisi tahunan. Padahal, untuk wilayah Jakarta, Pemda DKI sudah berupaya keras dalam menangani permasalahan buruh seperti rusun untuk buruh, fasilitas kesehatan, fasilitas kendaraan umum gratis, UMP tinggi dan sebagainya.

“Tapi kenapa masih saja demo buruh tetap dilaksanakan yang seolah jadi rutinitas. Buruh kan peroleh gaji dari perusahaan, bukan oleh pemerintah. Semakin tinggi gaji buruh maka seharusnya produktivitas juga lebih tinggi,” papar dia.

Namun, lanjut aktivis 98 ini, realitasnya sungguh berbeda, banyak perusahaan yang pailit hingga berujung pada gulung tikar. Hal tersebut, kata dia, tidak lain karena ulah buruh yang kerap menuntut kenaikan gaji dan selalu melakukan aksi demo sehingga terjadi penurunan daya produksi buruh yang berujung pada penurunan produksi perusahaannya.

“Ini perlu diperhatikan juga jika buruh tuntut kenaikan upah, bahwa semakin meningkat gaji otomatis semakin meningkat juga iuran yang diberikan kepada serikat buruh,” kata dia.

Alhasil, sambung Willy, secara otomatis juga akan semakin meningkatkan anggaran pemasukan serikat buruh yang entah kemana dan untuk apa penggunaannya secara rinci. Sampai saat ini, belum di audit yang menunjukkan kejelasan mengenai aliran dana iuran wajib buruh yang totalnya mencapai Trilliunan Rupiah tersebut.

“Maka dari itu sebenarnya kalau memang penggunaan anggaran yang berasal dari keringat buruh demi keluarganya, harusnya dijelaskan secara transparan. Ini bukannya malah mensejahterahkan buruh tapi ujung-ujungnya hanya memakmurkan pengurus saja,” kata Willy.

“Percuma saja kalau aksi buruh mengecam kaum kapitalis tapi ternyata didalam serikat buruh tersebut malah pengurusnya sendiri yang mengalir darah kapitalis,” tukasnya.

Temukan juga kami di Google News.