Jakarta – Gagasan pemerintah menerapkan sistem sekolah sepanjang hari (full day school) menuai respons nan ramai dari khalayak media sosial.

Wacana itu awalnya disampaikan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy. Menurut dia, sistem sekolah sepanjang hari akan fokus pada pembangunan karakter, dan diharapkan bisa membuat siswa menjadi tidak liar.

Seperti dilansir CNN Indonesia (8/8), Muhadjir menyebut jam pulang sekolah (siswa) akan disamakan dengan jam pulang kerja (orang tua), sehingga anak didik tidak dilepas begitu saja setelah jam sekolah.

Konon, gagasan ini telah mendapat restu dari Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Proyek rintisannya (pilot project) juga akan segera berjalan. Tak tanggung-tanggung sistem itu disebut akan berlaku dari jenjang Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menengah Atas (SMA).

Muhadjir juga menjelaskan bahwa sistem itu tidak berarti bahwa anak akan belajar sehari penuh di sekolah. “Tetapi memastikan bahwa peserta didik dapat mengikuti kegiatan-kegiatan penanaman pendidikan karakter, seperti mengikuti kegiatan ekstrakurikuler,” kata dia, dikutip Republika.co.id (9/8).

Menolak dengan beragam alasan

Meski begitu, di media sosial, gagasan tersebut lebih sering menuai sentimen negatif. Ada beragam alasan yang kerap terlontar dari netizen seputar sistem sekolah sepanjang hari.

Jurnalis video, Dandhy Dwi Laksono, dalam kirimannya di Facebook memelesetkan gagasan ini menjadi “Fool Day School.” Kiriman Dandhy itu menjadi viral, tercatat dibagikan (share) hingga lebih dari 3.000 kali.

Dalam salah satu butir argumennya, Dandhy menyebut bahwa gagasan ini bias urban. Dengan kata lain, berlandaskan imajinasi kehidupan perkotaan.

Ia menyebut bahwa gagasan sekolah sepanjang hari muncul di Amerika Serikat pada era 1980-an, saat terjadi tren kaum ibu bekerja di luar rumah. Sekilas hal itu sama dengan Indonesia, bila mengaitkannya dengan jam kerja kantoran khas wilayah perkotaan. Namun, Dandhy meragukan ketepatan ide itu.

Ia lantas mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS). Merujuk data itu, dari sekitar 118 juta pekerja Indonesia hanya sekitar 40 persen yang bekerja dalam kegiatan formal. Sedangkan sisanya, mayoritas bekerja pada kegiatan informal. Pun bagi mereka yang beraktivitas formal itu, belum tentu memiliki jam kerja standar (pukul 9 pagi hingga 5 sore).

Pertanyaannya, apakah gagasan sekolah sehari penuh telah menimbang kepentingan pekerja yang bekerja di luar jam kerja standar itu? Apakah gagasan itu sudah mempertimbangkan aktivitas para pekerja informal?

Lebih spesifik lagi, apakah gagasan itu menimbang aktivitas para petani, nelayan, atau pekerjaan lain yang jam kerjanya sulit ditentukan?

Status Facebook dari akun Hasanudin Abdurakhman juga menjadi salah satu kiriman nan viral seputar topik ini. Doktor fisika terapan dari Tohoku University (Jepang) itu, antara lain menyoal gagasan sekolah sepanjang hari yang konon akan dilengkapi materi pendidikan karakter.

Menurut Hasanudin, tidak ada korelasi antara pendidikan karakter dengan jam belajar anak di sekolah. Sebalikya, kata dia, kurangnya pendidikan karakter lebih karena persoalan mendasar, macam kurikulum.

“Selama ini pendidikan karakter tidak dijalankan bukan karena kekurangan waktu belajar, tapi karena memang tidak diperhatikan. Kurikulumnya tidak menyentuh aspek itu, guru-gurunya tidak siap, bahkan tidak berkarakter,” tulisnya di Facebook, dan telah dibagikan (share) lebih dari 250 kali.

Ia juga mempertanyakan kemampuan sekolah untuk menyediakan pelajaran tambahan atau les (ekstrakurikuler), dengan beragam ketertarikan yang dimiliki masing-masing siswa.

“Yang akan terjadi nanti adalah pemaksaan kegiatan ekstra, mengikuti hanya yang bisa disediakan sekolah saja,” tulisnya.

Sementara itu, tagar #FullDaySchool terlihat merajai Tren Twitter Indonesia, Selasa (9/8). Umumnya, komentar di tagar itu memuat keberatan atas gagasan sekolah sepanjang hari. Sejumlah argumen pun wira-wiri di linimasa Twitter.

Ada yang berpendapat bahwa sekolah sepanjang hari akan melelahkan anak.

Beberapa akun juga menyebut bahwa kebijakan itu bisa merampas kehidupan sosial anak, terutama dalam perkara bersosialisasi dengan lingkungannya.

Sejumlah netizen juga menyarankan agar fokus utama dunia pendidikan ditujukan pada pemerataan fasilitas sekolah di seluruh nusantara, ketimbang gagasan sekolah sepanjang hari.

Wacana sekolah sepanjang hari itu akhirnya mengempis, Selasa (9/8/2016). Sang penggagas, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy, mengatakan, “Jika memang belum dapat dilaksanakan, saya akan menarik rencana itu dan mencari pendekatan lain.”

Temukan juga kami di Google News.