Jakarta – Polemik tulisan Haris Azhar berisi pengakuan Freddy Budiman yang diunggah ke media sosial, kemudian jadi viral, masuk babak baru. Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) itu dilaporkan ke Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri.

“Saya dengar iya ada (laporannya). Iya (atas dugaan pencemaran nama baik dan UU ITE),” kata Direkrut Tindak Pidana Umum Bareskrim Brigjen Agus Andrianto dikutip dari detikcom, Rabu(3/8/2016).

Agus mengatakan tiga laporan untuk Haris itu berasal dari tiga institusi; Polri, Badan Narkotika Nasional (BNN) dan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Laporan yang terkait tulisan Haris berjudul Cerita Busuk dari Seorang Bandit itu masuk ke Bareskrim Selasa kemarin (2/8/2016).

Status Haris sendiri masih terlapor, belum menjadi tersangka. Hal itu dinyatakan sendiri oleh Haris pada hari ini (3/8/2016). “Belum ada (penetapan tersangka), (saya) baru dilaporkan,” ujar Haris kepada Kompas.com.

Bareskrim mengaku terus meneliti laporan tersebut. Yang jelas, Agus Andrianto menambahkan, Haris dianggap pelapor telah menyebarkan berita bohong terkait testimoni Freddy.

Dalam proses penyelidikan pihaknya akan membuktikan apakah benar Haris menemui Freddy di Lapas Nusakambangan pada 2014. “Juga dicek apa motivasinya, kenapa baru bicara sekarang,” kata Agus.

Yang jadi persoalan juga, pengakuan langsung terpidana mati Freddy tersebut tidak direkam. Haris menyatakan tidak membawa barang apapun ketika masuk ke Nusakambangan. “Jadi kalau ditanya ada rekaman atau video, ya saat itu saya tidak bawa,” ujarnya.

Haris menyayangkan informasi Freddy yang diungkapnya malah dianggap menjelekkan beberapa institusi. Menurutnya ada banyak kesaksian masyarakat bahwa cerita-cerita itu memang sudah jadi rahasia publik. “Saya hanya membahasakan saja,” kata dia.

Alasan Haris baru mengungkap kesaksian Freddy sekarang berdasarkan pada beberapa pertimbangan. Di antaranya adalah memanasnya politik saat pemilihan presiden pada 2014. “Setelah itu ramai juga KPK soal BW (Bambang Widjojanto) dikriminalisasi,” kata Haris.

Ketika itu KontraS tidak mau bersikap gegabah. Menurutnya jika salah bicara maka KontraS akan berhadapan dengan institusi yang punya kekuatan politik dan didukung oleh undang-undang. Merasa tidak yakin, KontraS pun mengurungkan niatnya.

“Kami lihat dulu apakah Joko Widodo ini punya kaki untuk kontrol institusi. Kami tidak mau hanya melapor dan direspons sebagai orang gila,” kata Haris yang mengaku siap mempertanggungjawabkan informasi yang dibeberkannya.

Klaim Freddy yang dituturkan melalui Haris tampaknya memang akan berlalu begitu saja. Itu karena Kepala Divisi Humas Polri Irjen Boy Rafli Amar, yang telah bertemu Haris, telah menyatakan tidak ada nama-nama yang dicurigai. “Informasinya masih bersifat umum,” katanya.

Padahal, ujar Boy, ada klaim soal pemberian uang Rp450 miliar yang mengalir ke oknum BNN dan Rp90 miliar ke oknum Polri. Jika benar, jumlah yang besar itu akan bisa tercium PPATK. “Itu jumlah besar lho,” tutur Boy.

Kesaksian Freddy, menurut Haris, didapat pada masa kesibukannya memberikan pendidikan HAM kepada masyarakat pada masa kampanye Pemilihan Presiden pada 2014.

Dirinya diundang salah satu organisasi gereja yang aktif memberikan pendampingan rohani di Lapas Nusakambangan.

Dalam kesempatan itu, Haris juga bertemu dengan John Refra alias John Kei dan Rodrigo Gularte, terpidana mati gelombang kedua, April 2015.

Kala itu Freddy bercerita ke Haris bahwa dirinya hanya operator penyelundupan narkoba, yang jika hendak mengimpor narkoba, dia akan menghubungi berbagai pihak untuk mengatur kedatangan narkoba dari Tiongkok.

“Saya telepon polisi, BNN, Bea Cukai, dan semuanya titip harga,” kata Haris mengulangi cerita Freddy, di KontraS, Jakarta, Jumat (29/7/2016).

Freddy juga bercerita kepada Haris bahwa harga narkoba yang dibeli dari Tiongkok cuma seharga Rp5.000. Sehingga, ia tidak menolak jika ada yang menitipkan harga atau mengambil keuntungan dari penjualannya.

Oknum aparat disebut meminta keuntungan kepada Freddy mulai Rp10.000 hingga Rp30.000 per butir.

Temukan juga kami di Google News.