Jakarta – Kerusuhan berbau SARA di Tanjung Balai, Asahan, Sumatera Utara, Jumat 29/7 malam harus segera diantisipasi dan dikendalikan Polri. Jika tidak, dikhawatirkan kerusuhan ini akan meluas, mengingat kawasan pantai timur Sumatera Utara itu sangat rentan dengan amuk massa dan konflik SARA.

Indonesian Police Watch (IPW) memberi apresiasi pada jajaran kepolisian yang bisa dengan cepat mengendalikan amuk massa, walau massa sempat merusak sejumlah viara dan klenteng di kota itu.

“Kerusuhan ini dengan cepat meluas karena Polres Tanjungbalai kurang tanggap dengan situasi psikologis masyarakat setempat,” kata Ketua Presidium IPW Neta S Pane, Sabtu (30/7/2016).

Akibatnya, kata Neta, amuk massa ini sempat membakar sejumlah bangunan, sepeda motor, dan mobil. Belajar dari kasus amuk SARA di Tanjung Balai sudah saatnya Mabes Polri dalam menunjuk kapolda dan kapolres harus memilih figur-figur yang peduli dengan kondisi psikologis massa. Sehingga mereka mampu membuat pemetaan tentang psikologis masyarakat dan memetakan daerah rawan kriminal maupun rawan konflik SARA.

“Tanjung Balai sendiri tergolong sebagai daerah rawan konflik. Hal ini terjadi akibat kurang pedulinya jajaran aparat keamanan terhadap situasi sosial, bahkan cenderung berkolusi dengan pihak tertentu dan membiarkan berkembangnya mafioso di daerahnya,” terang dia.

Di Tanjung Balai misalnya, lanjut dia, pada 27 Mei 1998 warga keturunan Cina menjadi korban amuk massa. Sebab, selama ini warga Tanjung Balai merasa diteror tokoh mafia Abie Besok Gembok yang juga keturunan Cina. Abie yang dekat dengan pimpinan parpol di Jakarta ini bisa membuat jajaran kepolisian dan militer di kota itu bertekuk lutut. Abie bebas melakukan pungutan uang keamanan ke pertokoan, menguasai penyelundupan, mengendalikan perjudian dan pelacuran, dan jajaran kepolisian membiarkannya.

“Sehingga sang mafioso makin bertindak semena-mena hingga membuat rakyat Tanjungbalai kesal dan mengamuk,” ungkap dia.

Kerusuhan SARA pun meletus di kota itu pada 28 Mei 1998. Ratusan rumah, toko, dan mobil di kota itu dihancurkan serta dibakar warga. Begitu juga gedung DPRD dihancurkan warga karena sebagian oknum legislatif dianggap sebagai backing mafia. Massa juga menjarah toko-toko. Kerusuhan baru berakhir setelah TNI diturunkan dari berbagai kota.

Kerusuhan di Tanjungbalai kemudian menjalar tanpa kendali ke berbagai daerah di Sumatera Utara, bahkan hingga ke Tanjungpura, Langkat. Sejarah panjang amuk massa ini harus jadi pembelajaran Polri.

“Artinya, jajaran kepolisian harus memiliki kepedulian yang tinggi dan jangan membiarkan aksi mafioso berkembang, sehingga warga tidak tertekan dan nekat melakukan amuk massa berbau SARA, seperti yang terjadi di Tanjung Balai,” tandasnya.

Temukan juga kami di Google News.