Jakarta – Jika bisa dimisalkan bahwa penindakan terorisme di Indonesia ibarat melihat wanita ‘semok’ atau seksi dan montok. Mayoritas mata laki-laki pasti akan terbelalak berebutan memandangnya. Tak hanya perjaka dan duda, pemilik istri sah juga berbondong melihatnya.

Dalam hal yang nyata. Hal seperti itu juga terjadi. Di mana TNI berkeinginan memiliki wewenang penindakan teroris. Akibatnya menjadi polemik di kancah publik. Ada yang pro dan adanya kontra. Pada akhirnya ketika itu kembali ke awal. Pengambil keputusan, DPR belum mau melakukan revisi UU Terorisme yang ada, yang memberikan kewenangan penuh kepada Polri. DPR masih menganggap teroris sebagai bentuk kejahatan dan masuk dalam criminal justice system. Saat ini persoalan itu mengundara kembali, bertepatan dengan kesuksesan Operasi Tinombala di Poso, dan tim reiders TNI berhasil menembak mati gebong teroris yang paling di cari saat ini, yakni Santoso.

Dengan fakta itu, keinginan TNI pun ibarat gayung bersambut, Pansus Revisi UU Terorisme yang sudah bekerja nampaknya mendukung keinginan TNI terlibat langsung dalam penindakan terorisme di Tanah Air.

Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo sudah menyebut bahwa terorisme bukanlah kriminal biasa melainkan kejahatan terhadap negara. Sebaliknya, Kapolri Jenderal Pol. Tito Karnavian mengatakan, teroris saat ini masih masuk ranah criminal justice system. Jadi jika TNI ikut terlibat perlu disikapi dan dipahami dulu bahwa dalam hal penindakan sangat mengandung resiko.

TNI Tangani Teroris Aneh

Menanggapi polemik lama yang muncul kembali itu, Direktur Eksekutif Clean Governance sekaligus sebagai peneliti masalah Kamnas, Maksum Zubir mengaku aneh.

Menurutnya, teror sesuai difinisinya adalah membangkitkan kekuatan. Namun teror bukanlah perang karena yang menjadi sasaran adalah masyarakat sipil. Artinya, dalam hal ini keterlibatan militer pun harus dibatasi.

“Teror adalah ranah sipil, maka harus ada proses hukum, harus ada akuntabilitasnya, mengapa seseorang mati dan siapa yang membunuhnya?” Ucap Maksum membuat pertanyaan yang harus dijawab.

Menurut Maksum, upaya pemberantasan teror bukanlah perang, pemberantasan teror jangan ditarik ke sektor pertahanan.

“Kalo perang tak perlu akuntabilitas siapa yang menambak. Jadi tak perlu ditanya kenapa matinya. Tapi. Teroris penangkapan sampai pada melumpuhkan harus dipertanggung jawabkan. Ada aturan hukumnya yang dilalui dan dilakukan sesudahnya,” kata Maksum, Sabtu (23/7).

Jadi, lanjut Maksum, sepatutnya, leading sector penanganan terorisme menjadi wilayah utama polisi. Karena fungsi pertahanan dengan penegakan hukum berbeda.

“Revisi UU Terorisme yang sedang dilkukan DPR sebaiknya tetap kembali kepada criminal justice system. Aneh jika pemerintah melakukan pendekatan perang sebagai criminal justice system,” katanya.

Pasalnya, menurut Maksum, Indonesia sudah memisahkan antara ranah pertahanan dan keamanaan. Sektor pertahanan menjadi domain TNI, sedangkan sektor keamaanan menjadi kewenangaan Polri.

Dan lagi, tambahnya, jika tidak salah pasal 43B : bunyi draf yang di paraf Pemerintah berbunyi, pasal 1. kebijakan dan strategi nasional penanggulangan tindak pidana Terorisme dilaksanakan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia, Tentara Nasional Indonefia….dst.

Sedang Pasal 2. Peran Tentara Nasional Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi memberi bantuan kepada kepolisian RI

Nah, di sini harus ada upaya keberpihakan masyarakat pada Polri. Karena jika beralihan harus banyak lagi yang ditambah dan diperbaiki.

Temukan juga kami di Google News.