Penulis : Ilwan Februwarto Nehe. S, IP
(Media dan Publikasi Indonesia Controlling Community dan Ketua DPP Bidang Politik Gerakan Pemuda Kepulauan Nias)

Setiap tanggal 20 Mei menjadi perayaan untuk memperingati sejarah Kebangkitan Nasional. Momentum ini pertama kali digelar pada 20 Mei 1948 di Istana Kepresidenan, Yogyakarta. Pada saat itu Presiden Soekarno bicara tentang Kebangkitan Nasional dan pengaruhnya dalam menyongsong kemerdekaan bangsa Indonesia.

Bukanlah sesuatu yang mudah untuk menyatukan visi dan tujuan dari banyak latar belakang pemikiran dalam membangun sebuah kebangkitan nasional. Kebangkitan nasional merupakan masa bangkitnya semangat kebangsaan, persatuan, kesatuan, dan kesadaran diri untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dari tangan penjajah.

Cikal bakal lahirnya kebangkitan nasional ini ditandai oleh lahirnya organisasi Boedi Utomo. Boedi Utomo merupakan organisasi yang bergerak dalam bidang sosial, ekonomi, pendidikan dan kebudayan yang berdiri pada tahun 1908.

Pasca kondisi politik yang semakin massif pada saat itu sehingga berdirilah organsisasi lainnya seperti Indische Partij, Syarikat Islam, Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, dan lainnya. Meskipun memiliki latar belakang atau konsep yang berbeda namun tujuannya sama, yaitu semangat untuk melawan penjajah.

Secara khusus momentum kebangkitan nasional, adalah salah satu momentum krusial yang pernah dihadapi Indonesia. Itu adalah masa yang bisa dikatakan sebagai sebuah lompatan besar dari konsep kedaerahan, kesukuan, dan sikap serta perilaku tradisional menuju langkah yang jelas untuk membentuk sebuah bangsa.

Perlunya menata diri untuk berserikat secara modern, membangun kekuatan dari susunan orang-orang yang plural, belajar menyelesaikan masalah dengan keputusan dan implementasi kolektif. Mengubah dari perjuangan yang spontan menjadi perjuangan yang sistematis, terencana dan sebagainya.

Perkembangan Nasionalisme Di Indonesia
Sebelum mencapai kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, Indonesia telah dijajah oleh kolonialisme – imperialisme Barat sejak abad ke-17. Penjajahan yang berlangsung selama 3 abad tersebut, melahirkan kesadaran Indonesia sebagai sebuah bangsa sejak abad ke-20. Kesadaran tersebut mulai mucul akibat adanya sistem pendidikan yang dikembangkan oleh pemerintah kolonial.

Melalui pendidikan tersebutlah muncul kelompok intelektual yang menjadi penggerak nasionalisme Indonesia. Meskipun semangat yang cukup jauh ditempuh oleh para pendahulunya gagal untuk mencapai tujuan kemerdekaan, maka ditangan para kelompok intelektual inilah memasuki babak baru dalam membebaskan diri dari kolonial dan imperialisme.

Tentu bukan hal yang mudah untuk memulai gerakan ini. Munculnya kaum intelektual untuk memulai pergerakan Indonesia juga dipengaruhi oleh beberapa faktor lain yang menyebabkan lahirnya nasionalme Indonesia. Yaitu faktor internal dan eksternal.

Ada empat faktor internal yang memengaruhi lahirnya nasionalisme di Indonesia. Pertama, kejayaan bangsa Indonesia pada masa lalu, ketika kejayaan kerajaan-kerajaan maritim di kawasan Indonesia. Kejayaan Sriwijaya yang menjadi kerajaan maritim pertama di Indonesia serta diikuti oleh kejayaan Kerajaan Majapahit sebagai kerajaan yang memersatukan Nusantara, mendorong untuk lepas dari belenggu penjajahan.

Kedua, penderitaan rakyat akibat politik Drainage. Ketiga, diskriminasi terhadap rakyat Indonesia yang diberlakukan oleh pemerintahan kolonial Belanda. Keempat, lahirnya golongan cendekiawan yang ditandai dengan organisasi pemuda.

Sedangkan faktor eksternal yang mempengaruhi lahirnya nasionalisme di Indonesia antara lain menguatnya nasionalisme Asia. Pertama, kemenangan Jepang atas Rusia pada 1904-1905 yang menginspirasi Negara-negara di Asia dan Afrika untuk menentang bangsa berkulit putih.

Kedua, kebangkitan nasionalisme Asia memberikan dorongan kuat bagi bangsa Indonesia untuk bangkit melawan penindasan pemerintahan kolonial dan terakhir adalah masuknya paham-paham baru seperti liberalisme, demokrasi dan nasionalisme muncul setelah terjadinya Revolusi Amerika dan Revolusi Prancis.

Kebangkitan Nasional Ditengah Pandemi Covid 19
Bukan hal yang mudah di negeri ini untuk merayakan setiap momentum nasional pada Tahun 2020. Covid 19, virus yang sedang ramai dibicarakan telah menyerang hampir seluruh bangsa-bangsa di dunia hingga membuat nasionalisme dari setiap warga Negara dipertanyakan ulang.

Di Indonesia, Covid 19 bukan hanya semata problem kesehatan saja. Namun, persoalan pemerintah dalam menjalankan politik kesehatan dalam penanganan covid 19. Baik dalam transparansi data-data covid 19, anggaran pengadaan alat kesehatan, maupun anggaran bantuan sosial.

Termasuk juga konsistensi pemerintah dalam menerapakan peraturan covid 19 terkesan tidak tegas sehingga PSBB justru menjadi semacam “Pembiaran Sosial Berskala Besar”. Banyak masyarakat menjadi acuh terhadap kebijakan pemerintah yang dianggap kurang serius ini.

Selain itu, Covid 19 merupakan kesempatan elit politik untuk mengambil setiap keputusan-keputusan politiknya. Belakangan, masyarakat terus menerus di bumbui dengan informasi-informasi covid 19 namun sedikit melihat perkembangan situasi nasional lainnya yang menjadi perhatian khusus oleh berbagai kelompok masyarakat.

Salah satunya adalah keputusan pengesahan penetapan Revisi UU nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. RUU Pertambangan Minerba ini salah satu tuntutan mahasiswa dari tujuh tuntan lainnya yang massanya meledak pada tanggal 24 september 2019, keputusan ini tentu membuat kecolongan bagi kalangan mahasiswa.

Di lain sisi, masyarakat kembali dikejutkan dengan keputusan Presiden Jokowi dengan kenaikan iuran BPJS yang sebelumnya telah di tolak oleh Mahkamah Agung (MA). Apapun yang menjadi pertimbangan pemerintah dalam menaikan iuran BPJS tentu saja harus mempertimbangkan momentum yang baik untuk menaikkan iuran tersebut.

Maka, tidak tepat jika pemerintah memutuskan kebijakan tersebut ditengah kondisi masyarakat sedang berhadapan dengan pandemi covid 19. Lantas, bisakah bangsa ini melewati pandemi dan segera bangkit menjadi bangsa besar yang berpihak pada kepentingan rakyat?

Reformasi Mewujudkan Cita-cita yang Tertunda
Momentum peringatan hari kebangkitan nasional pada setiap pertengahan bulan mei juga sekaligus memperingati gerakan mahasiswa yang melahirkan gerakan Reformasi. Reformasi sebagai penanda Indonesia mulai menunjukkan identitas negara besar yang demokratis.

Membuka kran demokrasi pasca rezim otoritarian di masa 32 tahun orde baru (orba) menumbuh suburkan ruang-ruang publik menuangkan segala aspirasinya. Semakin banyak orang-orang leluasan yang mulai tampil berpendapat. Era reformasi dalam kehidupan politik di Indonesia adalah era perubahan yang ditandai dengan pergantian rezim.

Setiap rezim akan selalu mencoba untuk mengklaim dan menawarkan suatu kehidupan politik yang disebut sisten politik yag terbaik menuju kebaikan bersama. Kini, tanggal 20 Mei 2020 bertepatan 22 tahun kebangkitan reformasi. Namun, melihat selama perkembangan politik semenjak 1998 hingga kini apakah sepenuhnya tuntutan reformasi telah terpenuhi?

Peter Kasenda selaku sejahrawan Indonesia mengatakan bahwa tuntutan itu tidak pernah tercapai. Pertama, soal supremasi hukum. Menurutnya, hukum masih berpihak kepada orang-orang yang punya uang. Kedua, soal pemberantasan korupsi.

Mendiang Peter Kasenda mengingatkan massifnya praktik KKN justru terjadi di era reformasi. Sementara, melemahnya proses pengadilan kasus-kasus korupsi Soeharto dan para kroninya. Menurutnya, itu semua sudah dilakukan oleh pemerintahan reformasi namun hanya separuh jalan. Bob Hasan, kemudian Tommy Soeharto sempat diadili namun dengan status kasus pembunuhan.

Namun kita tidak pernah melihat Pak Harto duduk dibangku terdakwa hingga sampai pada kematiannya. Kemudian soal pencabutan dwifungsi ABRI. Menurut peter, sudah. Lalu, bagaimana dengan hari ini?

Mewujudkan sebuah cita-cita besar inilah yang akan sulit bilamana semangat reformasi tidak memiliki power dalam sistem politik praktis Indoensia. Tidaklah cukup jika aktivis perjuangan cita-cita reformasi ini hanya memperoleh kedudukan politik dilevel legislatif.

Jika pada masanya telah berhasil menduduki gedung DPR/MPR maka selayaknyalah pejuang-pejuang reformasi menduduki kursi Kepresidenan melalui pemilhan Presiden. Dengan cara kolektif kekuatan dan menanggalkan keegeoisan kelompaklah maka akan merebut kembali dan mewujudkan cita-cita reformasi yang tertunda.

Pemilihan Presiden 2024 harusnya menjadi kesempatan besar bagi para pentolan aktivis 98 untuk mencalonkan diri sebagai Presiden. Gerakan politik aktivis 98 tentu saja tidak instan dan memiliki sejarah panjang dalam menumbangkan rezim otoritarian yang telah memimpin bangsa ini selama 32 tahun.

Maka, sudah seharusnya untuk kembali membangkitkan semangat itu. Semangat dalam menumbangkan kelompok cendana dan kelompok politik instan yang baru-baru saja bermunculan seperti Sandiaga Uno, Erick Tohir, Whisnutama yang mulai meramaikan bursa Pilpres 2024.

Bulan ini genaplah gerakan reformasi diusia yang ke 22 Tahun. Tentu ini sebuah proses yang cukup panjang, bukan hal yang mudah bagi bangsa ini untuk melewati semuanya. Tidak sedikit aktivis yang menjadi tumbal dalam rezim orba.

Bahkan ada yang tidak ditemukan jasadnya, ini salah satu sebuah tragedi sejarah yang pernah terjadi dibangsa ini. Maka sudah seyogianyalah aktivis gerakan reformasi membayar perjuangan ini dengan memperoleh kedudukan yang lebih tinggi untuk memulihkan kembali cita-cita reformasi tersebut.

Selamat Hari Kebangkitan Nasional, Semangat Memperjuangkan Cita-Cita Reformasi. Merdekaa.

Temukan juga kami di Google News.