Jakarta – Kerja sama TNI-Polri dalam melumpuhkan tokoh teroris Santoso di Poso, Sulteng patut diapresiasi, meski penumpasan kelompok teroris yang hanya sebanyak 30 orang ini cukup lama, yakni berlangsung 8 bulan dengan melibatkan 3.000 personil.
Indonesian Police Watch menilai, tewasnya Santoso bisa disebut sebagai hadiah TNI untuk Kapolri baru Tito Karnavian. Sebab Santoso tewas dalam operasi yang dilakukan TNI, yang berujung pada aksi tembak menembak.
“Dari kasus Santoso terlihat adanya soliditas antara TNI dan Polri dalam melakukan kerjasama di Operasi Tinombala,” ungkap Ketua Presidium IPW Neta S Pane, Rabu (20/7/2016).
Dengan tewasnya Santoso, kata Neta, Polri tetap perlu bekerja keras mengantisipasi perlawanan para teroris. Sebab saat ini ada dua tokoh yang berbahaya, yakni Ali Kolara yang berpotensi menggantikan posisi Santoso di Poso dan Arief Maroef tokoh yang menyembunyikan Noordin M
Top, yang sekarang sudah bebas dan berada di Jogja.
“Keduanya perlu diwaspadai Polri,” ujarnya.
Menurut Neta, tewasnya Santoso bukan berarti aksi terorisme di indonesia akan berakhir. Yang dikhawatirkan justru adanya serangan balasan dari antek-antek dan jaringan Santoso. Di Poso sendiri Santoso sudah membangun kader. Salah satu, Ali Kolara. Kelompok Santoso sendiri merupakan satu dari 9 kelompok radikal yang masuh tumbuh subur di Indonesia, yang sangat
berpotensi melahirkan para teroris.
“Walau Santoso sudah tewas pengejaran Polri terhadap teroris di Indonesia belum akan berhenti. Sebab kelompok Solo masih terlihat sangat agresif, setidaknya ini terlihat dalam aksi bom bunuh diri di Polresta Solo akhir ramadhan lalu,” bebernya.
Dikatakan Neta, potensi teroris ini makin mengkhawatirkan tatkala beredar kabar masuknya dana setara Rp 20 miliar dari suriah ke jogja yang diduga untuk kelompok teroris.
“Artinya Kapolri baru Tito Karnavian maupun Kepala BNPT yang baru Komjen Suhardi Alius masih harus melakukan kerja keras untuk menekan aksi-aksi terorisme di indonesia,” tandasnya.
Tinggalkan Balasan