Alkisah, pada salah satu bagian sudut Kahyangan di langit Pulau Dewata. Duduk gelisah, seorang Dewa bergelar Garudha Nuswantara yang tergugah dari Semedinya.
Rupanya ia terusik oleh alunan doa seorang Pertapa Muda yang begitu mengiang di telinga Sang Dewa. Untuk itulah Dewa Garudha Nuswantara hendak tedhak ke Bumi, mau bertemu dengan Pertapa Muda itu.

Pagi itu, Sang Dewa tedhak dengan segala kemuliaanNya menyapa membangunkan meditasi Pertapa Muda.
“Salam Sang Dewa, siapakah Engkau dan apalah hamba, sehingga Dewa dengan kemuliaanNya menggedor padepokan sederhana Hamba?”, ucap Pertapa Muda yang takzim dengan kedatangan Sang Dewa.

“Aku Garudha Nuswantara, mendengar alunan doamu dan meditasimu yang amat dalam. Ada apakah engkau Pertapa Muda?”, tanya Sang Dewa.

“Ampun Sang Dewa, hamba doa dan meditasi hingga amat larut serta dalam, karena terusik oleh kegalauan hati hamba, sejak kedatangan Nini Sepuh Petani Salak dan kemudian melihat upacara-upacara masyarakat sekitar hamba akhir-akhir ini. Mohon ampunan Sang Dewa serta mohon titah … ”

“Baik, apakah gerangan itu?”

“Ampun Sang Dewa, hamba hendak menceritakan kegelisahan hati hamba, setelah 3 hari lalu datang kepada hamba, seorang Nini Sepuh Petani Salak di ujung desa ini….”

“Apakah hubungan Ibu-ibu sepuh petani salak itu dengan doa dan meditasimu yang mendalam itu, Pertapa Muda?”, Sang Dewa mengernyit penuh tanda tanya.

Jawab Pertapa Muda, “Ampun Sang Dewa, kiranya Dewa tidak murka … jika murka, hamba tidak berani bercerita … sesungguhnya itulah yang membuat doa dan meditasi hamba menjadi sangat larut akhir-akhir ini.”

“Baik Pertapa, aku Dewa Garudha Nuswantara tak akan murka … ceritakanlah..”

“Ampun Sang Dewa, Nini Sepuh Petani Salak di ujung desa itu … mengadu pada hamba, atau tepatnya memprotes hamba, mengapa para Dewa sekarang sudah tidak menyukai buah salak untuk upacara dan persembahan …”, Pertapa Muda itu sejenak diam, terpekur takut … jika Sang Dewa hendak murka.

“Teruskan, Pertapa….”

“Ampun Sang Dewa, Nini Sepuh itu mengatakan Para Dewa sekarang hanya suka buah-buah dari manca, yang tumbuh dari luar Pulau Bali… buah salak kebun Nini sekarang tak laku dan bertahan 5 hari membusuk. Padahal, dulu salak Nini itu yang paling enak dan laku untuk segala upacara … bahkan sampai lain banjar dan desa …”

“Sungguh, buah salak Nini Sepuh itu demikian enak Sang Dewa … namun sekarang banyak terbuang percuma, karena banyak sekali hasil kebunnya … tapi, tak termakan dan tak terjual semua. Kalau demikian, mungkin bukan hanya di desa ini yang begitu … seluas Pulau Bali pun, mengalami ini Sang Dewa…. hamba khawatir, banyak seperti Nini Sepuh itu, yang nantinya pada akhirnya punah dalam derita … karena tak bernafkah lagi”.

Dewa Garudha Nuswantara berkernyit lagi dahinya, terlihat masgul … terheran namun juga bersedih atas cerita Pertapa Muda.

“….. Ampun Sang Dewa, kiranya benarkah … kata Nini-nini sepuh itu?”, ucap Pertapa Muda terbata.

Sejenak ruang samadi padepokan Pertapa Muda itu menjadi sangat hening … segala alam dan makhluk sepertinya ikut terpekur merenung.

“Pertapa Muda, sampaikan salam berkah restuku pada Nini Sepuh Petani Salak itu … dan aku hendak wedarkan cerita serta pertemuan ini kepada Para Dewa Kahyangan … karena bila berlarut lama, Buah Salak Pulau Dewata Bali … akan punah dan para hambaku seperti Nini Sepuh Petani Salak akan menderita….”

“Aku kembali ke Kahyangan … semoga kebijaksanaan dan kemuliaan Khayangan Tahta Para Dewa … bisa memahami dan mendapat sisik melik jalan keluar, persoakan Nini Sepuh Petani Salak….” lanjut Sang Dewa, bergerak perlahan kembali ke Kahyangan Anak Gunung Agung.

Taman Sendang Salam, 21 Juni 2019 – Eko Prabowo

Temukan juga kami di Google News.