Jakarta – Wartawan senior Teguh Santosa menyarankan kepada Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok untuk tidak bersikap emosional dalam berinteraksi dengan awak media. Sebab, kata Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), pertanyaan yang dilontarkan wartawan itu mencerminkan pertanyaan yang berkembang di tengah masyarakat.

“Tindakan mengusir dan melarang wartawan yang meliput di Balai Kota tempat Ahok sehari-hari bekerja adalah sebuah kecerobohan dan patut disesalkan. Juga bisa dianggap sebagai tindakan menghalang-halangi wartawan mencari informasi yang bermanfaat bagi publik,” kata Teguh, Jumat (17/6/2016).

Perihal pertanyaan yang diajukan wartawan yang berujung insiden kemarahan Ahok soal aliran dana yang diterima ‘Teman Ahok’, Teguh mengatakan hal itu sebagai upaya wartawan mengkonfirmasi kebenaran informasi yang disampaikan politisi PDI Perjuangan Junimart Girsang. Selain itu, kata dia, tindakan Ahok itu dapat digolongkan sebagai perbuatan melanggar UU Pers 40/1999, dan bisa diancam pidana paling lama dua tahun atau denda Rp 500 juta.

“Apalagi ini sudah beberapa kali terjadi, sudah kelewatan,” bebernya.

Teguh mengutip Pasal 4 UU Pers 40/1999 yang menyatakan bahwa, pertama, kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara. Kedua, terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran.

Ketiga, untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi. Serta keempat, dalam mempertanggung jawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai Hak Tolak.

Adapun ancaman pidana penjara dan denda khususnya terhadap pelanggaran Pasal 4 ayat (2) dan (3) disebutkan dalam Pasal 18 undang-undang yang sama.

“Daripada mengumbar emosi yang meledak-ledak, apabila merasa dirugikan, Ahok bisa mengajukan keberatan lewat koridor yang disediakan oleh UU Pers 40/1999,” jelas dia.

Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok
Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok

Dosen di London School of Public Relations (LSPR) Jakarta itu melanjutkan kemarahan Ahok yang berlebihan seperti diperlihatkannya dalam kejadian Kamis siang (16/6/2016)di Balai Kota malah memperbesar kecurigaan publik mengenai dana tidak wajar yang mengalir untuk kelompok pendukung Ahok.

“Sebagai pejabat publik, Ahok semestinya bisa menjaga tutur kata dan tingkah laku di depan umum. Jangan arogan dan memberi kesan anti kritik. Itu ciri pemimpin otoriter,” terang dia.

Teguh memastikan pernyataan dirinya tidak berkaitan dengan proses pencalonan dirinya sebagai calon Gubernur DKI Jakarta. Namun, ia mengaku perlu mengingatkan Ahok karena mengenalnya dan berharap bisa menjadi salah satu success story demokrasi Indonesia.

“Tetapi belakangan saya ragu,” ucapnya.

Teguh menyarankan Ahok mempelajari cara Presiden Joko Widodo berinteraksi dengan insan pers. Presiden Jokowi, lanjut dia, memahami bahwa pers bekerja untuk kepentingan umum.

“Presiden Jokowi juga memahami bahwa kebebasan pers dibutuhkan untuk menopang sistem demokrasi yang sehat. Ahok semestinya mencamkan hal itu,” tandasnya.

Temukan juga kami di Google News.