Jakarta – Sejumlah tokoh penting hadiri bedah buku berjudul “Intelijen di Era Digital: Prospek dan Tantangan Membangun Ketahanan Nasional” karya Ngasiman Djoyonegoro di Menara Batavia, Tanah Abang Jakarta Pusat, Rabu (10/1).

Nampak para tokoh penting yang juga didapuk sebagai panelis itu diantaranya adalah perwakilan Kepala Badan Keamanan Laut RI Abdul Ghofur, perwakilan Kepala Badan Intelijen Strategis TNI Brigjen TNI Karmin Suharna, Kepala Badan Intelijen dan Keamanan Polri Komjen Pol Lutfi Lubihanto, Pengamat Intelijen Dr. Wawan H Purwanto, Rektor Perbanas Institute Prof Dr Ir Marsudi Wahyu Kisworo dan Deputi IV Kantor Staf Presiden RI Drs Eko Sulistyo.

Dalam sambutannya, Penulis buku Ngasiman Djoyonegoro membeberkan tujuan penulisannya dalam rangka menghadapi era globalisasi yang diiringi dengan perkembangan teknologi digital, dan muncul ancaman dalam bentuk dunia baru yakni cyber war, proxy war, asymmetric wars, cyber terrorism, cyber espionage dan lain-lain.

“Kehadiran buku ini diharapkan dapat memberikan gambaran jelas kepada insan intelijen Indonesia tentang bagaimana prospek dan tantangan membangun ketahanan nasional di era digital,” ungkap Ngasiman.

Ngasiman juga menjelaskan peperangan yang dulunya identik dengan senjata, peluru, pembunuhan, pengeboman kini telah bergeser seiring dengan perkembangan teknologi. Kini, kata dia, peperangan telah memiliki model baru yang jauh berbeda dengan peperangan konvensional.

“Kelompok teroris, perbankan hingga profiling terhadap orang dan perusahaan melakukan aksinya dengan dukungan digital,” ujarnya.

Tak hanya itu, kata dia, penyebaran informasi hoax bernada sara yang dapat memperpecah bangsa sekarang juga berlangsung melalui perangkat digital. Tercatat, ada 205 592.159 serangan siber yang menyerbu pertahanan digital Indonesia.

“Serangan ini mulai dari serangan hoax, peretasan terhadap KPU, peretasan website pemerintah dan BUMN, hingga serangan ransomware yang secara langsung meminta tebusan kepada masyarakat,” jelasnya.

Ngasiman mengaku bahwa media sosial juga bisa mempengaruhi publik untuk melakukan kejahatan. Seperti rekrutmen pengantin baru (teroris) berawal dari provokasi medsos, termasuk juga pembakaran rumah ibadah di Lampung.

“Tahun 2017 sudah terlewati merupakan tahun serangan siber luar biasa dan Pilkada DKI isu hoax, saracen marak dengan tujuan memecah bela kehidupan masyarakat,” katanya.

Lebih jauh, Ngasiman berpesan dalam menghadapi Pilkada serentak 2018 perlu mengantisipasi produksi hoax dan intelijen diharapkan bisa mendeteksi dan kedepan intelijen bisa tangguh untuk menjaga NKRI.

“Jangan sampai informasi penting yang dimiliki intelijen Indonesia bisa aman dan tidak terhack oleh asing,” pungkasnya.

Temukan juga kami di Google News.