Jakarta – Sekretaris Jenderal Forum Umat Islam (FUI), Muhammad Al-Khaththath, memasalahkan keberadaan Patung Pahlawan –tenar pula dengan nama Tugu Tani– yang ada di bilangan Menteng, Jakarta. Sosok yang kerap disapa MAK itu, menyebut patung pahlawan sebagai lambang Partai Komunis Indonesia (PKI).
“Itu disakralkan oleh mereka, sebagai lambang kejayaan PKI. Buktinya dari Orde Lama sampai sekarang, itu tidak pernah dirobohkan,” kata MAK. Ia mengatakannya sembari menyinggung perihal Simposium Tragedi 1965 (April 2016), di Hotel Aryaduta –lokasinya persis di belakang Patung Pahlawan.
Pernyataan itu disampaikannya dalam pertemuan yang digelar oleh Forum Komunikasi Putra Putri Purnawirawan Indonesia (FKPPI), di Jakarta, Rabu (25/5/2016). Rekamannya bisa dilihat dalam video yang diunggah akun YouTube, Jakartanicus.
MAK juga berargumen bahwa patung itu sudah membawa senjata selama berpuluh-puluh tahun. Hal itu disebutnya telah melanggar aturan, karena membawa senjata tajam di muka umum.
“Itu senjatanya dibawa berpuluh-puluh tahun kok enggak ditangkap oleh polisi?” kata dia. Ia pun menganjurkan kepada para hadirin yang hadir untuk mengatur rencana merobohkan patung tersebut.
Saat MAK bicara, di sampingnya terlihat Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta, Abraham “Lulung” Lunggana. Lulung tampak mengangkuk-angkuk, saat mendengar pemaparan MAK.
Serangan MAK tidak berhenti di situ. Ia juga menyinggung Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). “Seharusnya, kalau Ahok bukan PKI. Itu sudah perintahkan Satpol PP untuk merobohkan, untuk mencabut patung itu,” kata dia.
Selain MAK dan Lulung, dalam pertemuan tersebut hadir pula Mayor Jenderal (Purn) Kivlan Zein. Mantan Kepala Staf Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat itu tak ketinggalan untuk melempar pernyataan soal komunisme.
“Coba kumpul 100 ribu (orang), saya pimpin. Saya tumbangkan Istana, saya rebut. Kalau di situ ada orang PKI,” ujar Kivlan.
Sebagai catatan, isu bahaya komunisme merebak dalam beberapa bulan terakhir. Di sejumlah kota, terjadi penangkapan individu-individu sehubungan kaus palu arit, razia buku, serta pembubaran beberapa acara diskusi dan kesenian yang diinisiasi kelompok masyarakat sipil.
Asal-usul Patung Pahlawan
Ini bukan pertama kalinya Patung Pahlawan dipersoalkan. Pada 2001, kelompok yang menamakan dirinya Aliansi Anti Komunis (AAK), sempat mengancam akan merobohkan patung tersebut.
Artikel The Jakarta Post (10 Mei 2001) memuat informasi soal asal-usul Patung Pahlawan. Penjelasan di artikel itu, senada dengan laman Ensiklopedia Jakarta, milik Pemprov DKI Jakarta.
Kedua sumber itu menjelaskan bahwa Patung Pahlawan dibuat untuk memperingati pembebasan Papua (dulu bernama Irian Barat), yang berada di bawah pemerintahan Belanda hingga tahun 1963.
Saat itu, Presiden Sukarno, terkesan dengan patung-patung di Moskow, Uni Soviet (kini Rusia). Ketertarikan itu muncul sejak dirinya berkunjung ke Uni Soviet pada akhir 1950-an.
Karena tertarik, Sukarno mengundang dua pematung realis asal Rusia Matvey Manizer, dan Otto Manizer, untuk membuat Patung Pahlawan. Patung itu juga menjadi hadiah dari pemerintah Uni Soviet untuk Indonesia, sebagai lambang persahabatan.
Adapun lokasinya, sengaja ditempatkan berdekatan dengan markas marinir. Pasalnya, korps itu dianggap punya peran penting dalam pembebasan Irian Barat. Peresmiannya dilakukan Sukarno pada 1963.
Ihwal sosok petani dalam monumen itu, idenya diperoleh Manizer saat mengunjungi Indonesia pada 1960. Kala itu, dia mendengar kisah seorang ibu yang mendukung anaknya untuk berperang demi negara negaranya: Indonesia.
Ia pun membuat patung dari bahan perunggu, menampilkan sosok pria dan perempuan. Sang pria bertubuh kekar nan gagah. Memakai caping dan menyandang bedil, menggambarkan sikap siap berperang demi negaranya. Adapun sosok perempuan itu, merupakan gambaran seorang ibu, terlihat memberikan bekal makanan kepada sang pria.
Pada alas patung tertera tulisan: “Hanya Bangsa yang Dapat Menghargai Pahlawan-pahlawannya yang Dapat Menjadi Bangsa Besar”.
Merujuk ciri-ciri fisik di atas, patung pahlawan disebut punya gaya realisme sosialis. Hal yang tak berlebihan bila merujuk kecenderungan berkesenian perupanya. Realisme sosialis berkembang di Uni Soviet, pun berkelindan dengan komunisme yang menjadi falsafah mereka.
Artikel The Jakarta Globe, soal Patung Pahlawan, meragukan gaya realisme sosialis itu bisa membawa ideologi komunisme. “Meskipun pematungnya mungkin menganut komunisme di negara asalnya, patung karya mereka, tidak agresif berpropaganda tentang teori atau ideologi tertentu,” demikian kutipannya.
Di Indonesia, gaya realisme sosialis tak hanya melekat pada Patung Pahlawan. Gaya macam itu, terutama hadir dalam patung-patung yang didirikan pada masa kepemimpinan Sukarno. Untuk menyebut contoh, patung-patung karya Edhi Sunarso, seperti Tugu Pancoran dan Tugu Selamat Datang, juga punya ciri gigantik yang lekat dengan realisme sosialis.
Pun menyebut sebuah patung sebagai perlambang bangkitnya sebuah partai, yang telah diberangus sekitar 50-an tahun silam, terlalu berlebihan.
Hal macam itu terdengar dalam komentar-komentar netizen, dalam menanggapi pernyataan MAK. Mereka menjadikan pernyataan itu sebagai lelucon di media sosial.
Isu itu kian santer sejak April silam, seiring Simposium Tragedi 1965. Acara tersebut telah membuka kembali kontroversi soal pelurusan sejarah dan permintaan maaf pemerintah terhadap korban tragedi 1965.
Tinggalkan Balasan